for better life Headline Animator

Monday 16 September 2013

Dialog Kiai dan Sangidi tentang Miss World

Oleh: Dr. Adian Husaini

ALKISAH, di suatu waktu, di sebuah pondok pesantren, di pelosok

Sukabumi, Jawa Barat, Kiai Marwan Syarifin tampak sedang

terlibat dialog serius dengan seorang mantan santrinya. 

Sangidi Riawan, sang mantan santri itu sengaja datang dari

Jakarta menemui gurunya. Ia dilanda kegelisahan mendalam

tentang situasi umat Islam akhir-akhir ini, terkait dengan isu

Miss World. Di kampusnya, mahasiswa terbelah dua:  yang pro dan

kontra terhadap penyelenggaraan kontes Miss World. Bahkan, di

kalangan aktivis mahasiswa Islam, ada juga yang secara terbuka

mendukung kontes Miss World.

Sangidi gelisah. Gurunya, Kiai Marwan, dilihatnya tergabung

dalam demonstrasi menentang kontes Miss World. Di mata Sangidi,

penyelenggara Miss World telah melakukan upaya mulia untuk

kemajuan bangsa, karena telah mengubah konsep Miss World

menjadi kontes tanpa bikini. Budaya dan pariwisata Indonesia

pun diharapkan dapat makin meningkat.

Meski sempat mengenyam pendidikan pesantren, di bawah asuhan

Kiai mumpuni pula,  pergaulan hidup dan informasi global telah

mengubah pola pikirnya. Sangidi kini dikenal sebagai aktivis

mahasiswa. Latar belakangnya sebagai lulusan pesantren terkenal

pun menambah daya tarik tersendiri. Lidahnya fasih melafalkan

berbagai hujjah, dilengkapi dengan hiasan istilah-istilah

Inggris dan Arab.

Meskipun sangat tidak lazim bagi seorang santri untuk

mmengkritisi pendapat atau tindakan Kiai, kali ini, Sangidi

memaksakan diri bertanya dan jika  perlu mengkritisi

pendapat-pendapat gurunya. Tekadnya sudah bulat untuk – jika

mungkin – membawa gurunya itu ke kubu pendukung kontes Miss

World. Sekurangnya, tidak aktif menentangnya.

“Pak Kiai, saya mohon dijelaskan, kenapa Pak Kiai ikut-ikutan

demo menentang kontes Miss World?”  Sangidi memberanikan diri

menggugat Kiainya. Jantungnya berdegup cukup kencang.

“Saya tidak ikut-ikutan, Sangidi! Saya sangat sadar dengan apa

yang saya lakukan. Ini kewajiban kita sebagai Muslim,” jawab

Kiai Marwan.

“Kewajiban yang mana, Pak Kiai?”  tanya Sangidi, sambil

memandang wajah Kiainya.

“Harusnya sebagai lulusan pesantren kamu tahu. Ini kan

kewajiban al-amaru bil-ma’ruf wal-nahyu ‘anil munkar.  Kita

wajib menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran.  Itu salah

satu pilar ajaran agama kita. Bahkan, kata Imam al-Ghazali, itu

yang menentukan hidup matinya umat Islam.  Kata Nabi kita

Shallallahu ‘alaihi Wassalam, siapa yang melihat kemungkaran,

maka hendaknya ia berusaha mengubah dengan kekuatannya. Jika

tidak mampu, dengan kata-kata atau pikirannya; dan jika tidak

mampu juga, cukup dengan hati. Jadi, minimal, ingkar dan tidak

ridho terhadap kemungkaran.  Kamu kan paham akan hadis Nabi

itu, Sangidi!

Sangidi terdiam.  Ia tampak gelisah. Kiai Marwan seperti

memahami kondisi pemikiran mantan santrinya itu.  Ia menduga,

mantan santrinya telah menjadi korban propaganda jaringan

pendukung Miss World. Dengan kekuatan uang, media massa, dan

lobi-lobi politik yang dimilikinya,  panitia Miss World cukup

mampu membangun citra mulia atas tindakannya di tengah

masyarakat.  Karena itu, Kiai Marwan pun tak heran jika ada

sebagian organisasi Islam bahkan oknum ulama yang berselingkuh

mendukung kontes Miss World.

Sambil memandangi wajah dan gerak-gerik anggota tubuh Sangidi,

Kiai Marwan mencoba membaca pemikiran salah satu santri yang

dulu sempat dibanggakannya itu. Dibiarkannya saja Sangidi

bergulat dengan pemikirannya, sampai Sangidi sendiri buka

mulutnya.

 “Maaf Pak Kiai, apa yang Pak Kiai maksud dengan ‘mungkar’. Apa

kontes Miss World ini termasuk mungkar? Dimana letak

kemungkarannya?”  Sangidi buka mulut lagi.

“Ya, Sangidi! Justru kontes Miss World dan sejenisnya ini

kemungkaran yang sangat canggih, terencana dengan rapi. Bahkan

lebih parah lagi, kemungkaran ini dibungkus dengan propaganda

hebat, sehingga tercitrakan sebagai sebuah kebaikan bagi bangsa

kita. Bukan hanya kontesnya yang bermasalah, tapi

mengkampanyekan, bahwa bentuk maksiat seperti itu adalah

kebaikan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ibaratnya, melacur itu dosa; korupsi itu dosa. Tapi mengatakan

bahwa melacur itu adalah amal sholeh. Itu lebih besar

kejahatannya. Coba kamu baca tafsir QS at-Taubah ayat 31.”

“Saya masih belum mengerti jalan pikiran Pak Kiai. Bukankah

mereka sudah tampil dengan sangat  sopan dan tidak melanggar

etika dan norma budaya kita?” kata Sangidi lagi.

Kiai Marwan tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang murid. 

Sangidi pun menyela, “Mengapa Pak Kiai senyum-senyum?”

“Sangidi... Sangidi…!  Kamu itu santri cerdas, yang mestinya 

sudah memahami masalah seperti ini. Mengapa kamu sampai

termakan propaganda-propaganda dengan logika yang dangkal

seperti itu? Harusnya kamu paham tentang kiat-kiat setan dalam

menipu dan menyesatkan manusia, sebagaimana disebutkan dalam

banyak ayat al-Quran.”

Sangidi masih terdiam. Wajah Kiai Marwan dipandanginya,

diam-diam. Tetap saja wajah itu menyungging senyuman.

“Begini Sangidi…. Saya maklum, kamu bisa terjebak.  Ada juga

pejabat yang kuliahnya di Timur Tengah pun ikut menyarankan

agar peserta kontes Miss World  itu mengenakan kebaya. Ia tidak

dengan tegas menolak kontesnya. Hanya bajunya yang dia

persoalkan.”

“Bukankah itu saran yang bagus Pak Kiai?”

“Saran itu tidak cukup dan tidak mendasar. Yang mendasar pada

masalah kontes Miss World ini adalah konsep dan cara pandang

terhadap manusia dan martabatnya. Ini kontes tubuh manusia!

Yang ikut kontes itu manusia; bukan anjing atau kucing. Kita

orang Muslim punya cara pandang yang khas terhadap manusia.

Seorang manusia disebut manusia karena akalnya, karena jiwanya.

Kita memberikan nilai tinggi kepada manusia juga karena

ketinggian iman, akhlak, dan amalnya. Kata Nabi saw:

sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan kepada

manusia. Pada dasarnya, orang cantik, jelek, normal, cacat, itu

kehendak Allah.  Itu bukan prestasi. Kecantikan itu anugerah

dan sekaligus ujian dari Allah. Karena itu, tidak patut

dilombakan! Jangan kamu buat, misalnya, kontes mulut

termonyong, lomba bibir terlebar, dan sebagainya! ”

“Tapi, Pak Kiai, bukankah yang dinilai dalam Miss World bukan

hanya kecantikannya, tapi juga kecerdasan dan perilakunya?”

“Ha… ha... ha… Sangidi… Sangidi…!  Cobalah pikir! Sederhana 

saja! Di Indonesia ini, perempuan yang memiliki prestasi

kecerdasan tinggi itu berjubel; ribuan jumlahnya. Mereka-mereka

sudah mengharumkan nama bangsa di berbagai forum ilmiah

internasional. Mereka melakukan riset-riset ilmiah dan sukses

membuat temuan-temuan hebat di bidang ilmu pengetahuan.

Prestasi intelektualnya jauh di atas perempuan yang terpilih

jadi miss Indonesia itu!”

“Peserta Miss World ini juga harus punya proyek sosial, Pak

Kiai, bukan kecantikan saja yang dinilai?” Sangidi masih

berusaha meyakinkan gurunya.

“Itu juga bukan hal yang inti, Sangidi! Kalau mau cari

perempuan Indonesia yang sangat mulia, yang berjasa besar

kepada keluarga dan masyarakatnya, terlalu banyak di negeri

ini. Bukan sekedar buat proyek insidental. Bukan sekedar show

amal, tapi kehidupan mereka sehari-hari sudah bergelut dengan

kerja-kerja mulia untuk kemanusiaan.”

Sangidi terdiam. Ia sebenarnya memahami logika Kiainya. Tapi ia

belum bisa menerima logika itu sampai harus membatalkan Miss

World di Indonesia. Sebab, faktanya, Miss World memang

mendatangkan manfaat. Indonesia jadi lebih dikenal dunia.

Peserta Miss World pun ikut mempromosikan budaya Indonesia.

Jadi, kecantikan punya nilai tambah tersendiri. Cukup lama

Sangidi merenung di depan Sang Kiai. Hatinya bergolak. Ia sudah

terlanjur menulis dalam blog-nya, bahwa kontes Miss World di

Indonesia kali ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.

“Begini Pak Kiai…. Indonesia ini kan bukan negara Islam.

Mengapa Pak Kiai selalu bawa-bawa Islam untuk menilai kontes

Miss World? Ini kan masalah bangsa?”

“Siapa yang mengatakan Indonesia bukan negara Islam? Kalau

bukan negara Islam, lalu Indonesia negara apa?  Apa negara

kafir?  Kamu mikir,  Sangidi! Jangan hanya ikut-ikutan buat

pernyataan seperti orang-orang yang kurang memahami sejarah

bangsa kita!”

“Lho apa memangnya, Indonesia ini negara Islam, Pak Kiai?”

“Dengar baik-baik ya, Sangidi! Indonesia ini negara berdasar

atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sudah ditegaskan oleh para

perumusnya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa  itu adalah Allah

Subhanahu Wata’ala, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD

1945 alinea ketiga. Juga latar belakang rumusan Ketuhanan Yang

Maha Esa itu adalah sebagai ganti dari tujuh kata yang dihapus

dalam Piagam Jakarta. Ringkasnya, Indonesia ini Negara berdasar

atas Tauhid, sebagaimana konsep Islam. Itu ditegaskan dalam

Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo!”

“Tapi Pak Kiai, itu kan menurut Pak Kiai yang Islam. Bagaimana

dengan warga Indonesia yang beragama lain?”

“Kamu itu orang Islam atau bukan!? Bukankah seharusnya kamu

berpikiran semacam itu, sebagai orang Islam. Kalau soal orang

non-Muslim, itu urusan mereka. Kita hormati cara berpikir

mereka.”

“Ya benar. Hanya saja, Pak Kiai… kita ini kan warga Negara

Indonesia yang plural, tidak bisa memaksakan nilai-nilai Islam

kita kepada yang lain?”

“Yang memaksakan itu siapa?  Kita tidak memaksa siapa-siapa.”

“Itu buktinya, Kiai memaksakan kontes Miss World dibatalkan!”

“Penyelenggara yang memaksakan kontes munkar itu diadakan di

Indonesia. Mereka tidak sensitif dengan aspirasi umat Islam

Indonesia. Di Masa Pak Harto, mengirimkan wakil ke Miss-miss-an

seperti itu saja dilarang. Apalagi jadi tuan rumahnya! Ini

sangat keterlaluan, mentang-mentang punya uang dan media! 

Acara ini juga sangat mudah memicu prasangka dan konflik

bernuansa ras dan agama. Ini yang tidak kita kehendaki. Karena

itu, jauh-jauh sebelum acara ini berlangsung, saya sudah

mengingatkan penyelenggara, baik lewat tulisan atau pun lobi. 

Jangan teruskan acara ini! Jangan merusak dan memecah belah

bangsa kita dengan cara-cara yang akan memunculkan kontroversi.

Karena itu, kami para pimpinan pesantren,  tidak tinggal diam!

Itu makanya saya turun langsung berdemonstrasi memprotes acara

Miss World ini!!!!!”  suara Kiai Marwan agak meninggi.

“Apa Pak Kiai mau memaksakan untuk dibatalkan, padahal

pemerintah pun sudah melokalisasi acara ini di Bali!”

“Orang seperti saya ini tidak punya kuasa. Bagaimana mau

memaksakan? Yang memaksakan itu yang punya uang, yang punya

televisi, yang punya keberanian menantang Tuhan! Yang

bertanggung jawab dunia akhirat itu ya Pak SBY dan para pejabat

di bawahnya.  Saya hanya menyampaikan aspirasi sekuat tenaga

dan pikiran. Terserah pemerintah dan panitia penyelenggara mau

dengar atau tidak!”

“Maaf, Pak Kiai, apa tidak sebaiknya Pak Kiai menerima

kenyataan, bahwa masyarakat kita sekarang sangat sulit menerima

pemahaman seperti Pak Kiai ini. Pak Kiai akan dianggap makhluk

aneh, karena pada umumnya manusia senang melihat tontonan yang

melibatkan orang-orang cantik.  Bahkan, sekarang, artis-artis

jauh lebih popular daripada ulama. Apa Pak Kiai tidak bisa

berkompromi sedikit?”

“Kebenaran itu, Sangidi, tidak bisa dikompromikan.  Kita harus

menyatakan yang haq itu haq, yang benar itu benar. Katakan

saja, meskipun itu pahit; begitu pesan Nabi kita, Nabi Muhammad

saw. Dan saya yakin, kebenaran itu pasti ada pendukungnya.

Mungkin tidak banyak. Tapi, yang sedikit itu, jika serius, akan

mampu memimpin yang banyak. Anak babi itu banyak; anak singa

sedikit. Tapi, anak singa makan babi… he he he….”  Kiai Marwan

tertawa lirih sambil senyum-senyum memandangi Sangidi yang

mulai salah tingkah.

“Kamu kenapa sih Sangidi…. Kok kelihatan gelisah. Kamu kan

tidak ada hubungan apa-apa dengan panitia Miss World?”

“Maaf… maaf… Pak Kiai, benar-benar saya minta maaf ya Pak

Kiai…. Saya ke sini sebenarnya ada maksud membawa amanah dari

seseorang yang meminta saya melunakkan pendapat Pak Kiai soal

Miss World ini…”

“Ya, saya sudah menduga… tidak biasa-biasanya kamu datang ke

sini, sejak lulus pesantren dua tahun lalu…saya menduga pasti

kamu membawa misi sesuatu! Terus, … kamu sendiri bagaimana

sikapmu terhadap kontes Miss World ini.”

 “Saya coba pikir-pikir Pak Kiai. Saya baru mendengar hujjah

yang agak jelas tentang masalah ini.”

“Begini Sangidi, kuncinya ada di hatimu; kuncinya pada

kejujuranmu. Apa kamu jujur?  Apa kamu jujur kalau kamu Muslim?

Apa kamu jujur dengan ikrarmu, dengan syahadatmu; bahwa Allah

itu Tuhanmu, bukan cukong penyandang danamu; bukan hawa

nafsumu! Apa kamu masih jujur dengan ikrarmu. Apa kamu masih

mengakui Nabi Muhammad saw itu suri tauladan dan idolamu; apa

idolamu sudah berubah menjadi Che Guevara atau Hartawijaya?

“Ya Pak Kiai, saya jujur insyaAllah! Tapi, kan ini masalah

bangsa Pak Kiai? Bukan sekedar masalah agama saja! Ada yang

bilang, secara hukum positif di Indonesia, tidak ada yang

dilanggar dalam kontes Miss World. Bagaimana itu Pak Kiai?”

“Saya tidak habis pikir, jika yang ngomong seperti itu orang

Islam.  Di Indonesia ini, menurut hukum positif, berzina saja –

asal suka sama suka dan sama-sama dewasa – tidak melanggar

hukum positif. Apa lalu orang boleh berzina, karena tidak

melanggar hukum positif? Cari pasal dalam KUHP, apa ada

larangan masuk masjid dengan mengenakan bikini!!! Sudahlah

Sangidi… kamu harusnya sering-sering silaturrahim ke sini. Kamu

sudah terlalu banyak bergaul dengan orang-orag liberal, sampai

pikiranmu mulai rusak; tidak bisa lagi membedakan mana yang

salah dan mana yang benar.  Hati-hati, kamu sepertinya sudah

mulai terbuai dengan pujian dan sedikit popularitas yang kamu

nikmati sekarang!”

Sangidi terdiam. Ia tak sanggup lagi menatap wajah gurunya.

Kata-kata Kiai Marwan seperti menyayat-nyayat perasaannya.

“Doakan saya Pak Kiai, semoga saya masih bisa istiqamah!”

“Saya selalu mendoakan. Tapi, kamu sendiri harus punya niat

untuk tidak sesat!”

“Baik, Pak Kiai… saya mohon ijin untuk pamit,”  Sangidi

mengakhiri ucapannya.

“Ya, jaga diri. Ingat orang tuamu, berharap kamu jadi anak

shalih!”

Sejurus kemudian, sebuah sedan hitam metalik, membawa Sangidi

meninggalkan pesantren.*/Depok, 16 September 2013

Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan

Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP)

hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com. 

Nama-nama yang disebut dalam tulisan ini hanya fiktif belaka

No comments:

Post a Comment