Oleh: Dr. Adian Husaini
ALKISAH, di suatu waktu, di sebuah pondok pesantren, di pelosok
Sukabumi, Jawa Barat, Kiai Marwan Syarifin tampak sedang
terlibat dialog serius dengan seorang mantan santrinya.
Sangidi Riawan, sang mantan santri itu sengaja datang dari
Jakarta menemui gurunya. Ia dilanda kegelisahan mendalam
tentang situasi umat Islam akhir-akhir ini, terkait dengan isu
Miss World. Di kampusnya, mahasiswa terbelah dua: yang pro dan
kontra terhadap penyelenggaraan kontes Miss World. Bahkan, di
kalangan aktivis mahasiswa Islam, ada juga yang secara terbuka
mendukung kontes Miss World.
Sangidi gelisah. Gurunya, Kiai Marwan, dilihatnya tergabung
dalam demonstrasi menentang kontes Miss World. Di mata Sangidi,
penyelenggara Miss World telah melakukan upaya mulia untuk
kemajuan bangsa, karena telah mengubah konsep Miss World
menjadi kontes tanpa bikini. Budaya dan pariwisata Indonesia
pun diharapkan dapat makin meningkat.
Meski sempat mengenyam pendidikan pesantren, di bawah asuhan
Kiai mumpuni pula, pergaulan hidup dan informasi global telah
mengubah pola pikirnya. Sangidi kini dikenal sebagai aktivis
mahasiswa. Latar belakangnya sebagai lulusan pesantren terkenal
pun menambah daya tarik tersendiri. Lidahnya fasih melafalkan
berbagai hujjah, dilengkapi dengan hiasan istilah-istilah
Inggris dan Arab.
Meskipun sangat tidak lazim bagi seorang santri untuk
mmengkritisi pendapat atau tindakan Kiai, kali ini, Sangidi
memaksakan diri bertanya dan jika perlu mengkritisi
pendapat-pendapat gurunya. Tekadnya sudah bulat untuk – jika
mungkin – membawa gurunya itu ke kubu pendukung kontes Miss
World. Sekurangnya, tidak aktif menentangnya.
“Pak Kiai, saya mohon dijelaskan, kenapa Pak Kiai ikut-ikutan
demo menentang kontes Miss World?” Sangidi memberanikan diri
menggugat Kiainya. Jantungnya berdegup cukup kencang.
“Saya tidak ikut-ikutan, Sangidi! Saya sangat sadar dengan apa
yang saya lakukan. Ini kewajiban kita sebagai Muslim,” jawab
Kiai Marwan.
“Kewajiban yang mana, Pak Kiai?” tanya Sangidi, sambil
memandang wajah Kiainya.
“Harusnya sebagai lulusan pesantren kamu tahu. Ini kan
kewajiban al-amaru bil-ma’ruf wal-nahyu ‘anil munkar. Kita
wajib menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Itu salah
satu pilar ajaran agama kita. Bahkan, kata Imam al-Ghazali, itu
yang menentukan hidup matinya umat Islam. Kata Nabi kita
Shallallahu ‘alaihi Wassalam, siapa yang melihat kemungkaran,
maka hendaknya ia berusaha mengubah dengan kekuatannya. Jika
tidak mampu, dengan kata-kata atau pikirannya; dan jika tidak
mampu juga, cukup dengan hati. Jadi, minimal, ingkar dan tidak
ridho terhadap kemungkaran. Kamu kan paham akan hadis Nabi
itu, Sangidi!
Sangidi terdiam. Ia tampak gelisah. Kiai Marwan seperti
memahami kondisi pemikiran mantan santrinya itu. Ia menduga,
mantan santrinya telah menjadi korban propaganda jaringan
pendukung Miss World. Dengan kekuatan uang, media massa, dan
lobi-lobi politik yang dimilikinya, panitia Miss World cukup
mampu membangun citra mulia atas tindakannya di tengah
masyarakat. Karena itu, Kiai Marwan pun tak heran jika ada
sebagian organisasi Islam bahkan oknum ulama yang berselingkuh
mendukung kontes Miss World.
Sambil memandangi wajah dan gerak-gerik anggota tubuh Sangidi,
Kiai Marwan mencoba membaca pemikiran salah satu santri yang
dulu sempat dibanggakannya itu. Dibiarkannya saja Sangidi
bergulat dengan pemikirannya, sampai Sangidi sendiri buka
mulutnya.
“Maaf Pak Kiai, apa yang Pak Kiai maksud dengan ‘mungkar’. Apa
kontes Miss World ini termasuk mungkar? Dimana letak
kemungkarannya?” Sangidi buka mulut lagi.
“Ya, Sangidi! Justru kontes Miss World dan sejenisnya ini
kemungkaran yang sangat canggih, terencana dengan rapi. Bahkan
lebih parah lagi, kemungkaran ini dibungkus dengan propaganda
hebat, sehingga tercitrakan sebagai sebuah kebaikan bagi bangsa
kita. Bukan hanya kontesnya yang bermasalah, tapi
mengkampanyekan, bahwa bentuk maksiat seperti itu adalah
kebaikan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim.
Ibaratnya, melacur itu dosa; korupsi itu dosa. Tapi mengatakan
bahwa melacur itu adalah amal sholeh. Itu lebih besar
kejahatannya. Coba kamu baca tafsir QS at-Taubah ayat 31.”
“Saya masih belum mengerti jalan pikiran Pak Kiai. Bukankah
mereka sudah tampil dengan sangat sopan dan tidak melanggar
etika dan norma budaya kita?” kata Sangidi lagi.
Kiai Marwan tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang murid.
Sangidi pun menyela, “Mengapa Pak Kiai senyum-senyum?”
“Sangidi... Sangidi…! Kamu itu santri cerdas, yang mestinya
sudah memahami masalah seperti ini. Mengapa kamu sampai
termakan propaganda-propaganda dengan logika yang dangkal
seperti itu? Harusnya kamu paham tentang kiat-kiat setan dalam
menipu dan menyesatkan manusia, sebagaimana disebutkan dalam
banyak ayat al-Quran.”
Sangidi masih terdiam. Wajah Kiai Marwan dipandanginya,
diam-diam. Tetap saja wajah itu menyungging senyuman.
“Begini Sangidi…. Saya maklum, kamu bisa terjebak. Ada juga
pejabat yang kuliahnya di Timur Tengah pun ikut menyarankan
agar peserta kontes Miss World itu mengenakan kebaya. Ia tidak
dengan tegas menolak kontesnya. Hanya bajunya yang dia
persoalkan.”
“Bukankah itu saran yang bagus Pak Kiai?”
“Saran itu tidak cukup dan tidak mendasar. Yang mendasar pada
masalah kontes Miss World ini adalah konsep dan cara pandang
terhadap manusia dan martabatnya. Ini kontes tubuh manusia!
Yang ikut kontes itu manusia; bukan anjing atau kucing. Kita
orang Muslim punya cara pandang yang khas terhadap manusia.
Seorang manusia disebut manusia karena akalnya, karena jiwanya.
Kita memberikan nilai tinggi kepada manusia juga karena
ketinggian iman, akhlak, dan amalnya. Kata Nabi saw:
sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan kepada
manusia. Pada dasarnya, orang cantik, jelek, normal, cacat, itu
kehendak Allah. Itu bukan prestasi. Kecantikan itu anugerah
dan sekaligus ujian dari Allah. Karena itu, tidak patut
dilombakan! Jangan kamu buat, misalnya, kontes mulut
termonyong, lomba bibir terlebar, dan sebagainya! ”
“Tapi, Pak Kiai, bukankah yang dinilai dalam Miss World bukan
hanya kecantikannya, tapi juga kecerdasan dan perilakunya?”
“Ha… ha... ha… Sangidi… Sangidi…! Cobalah pikir! Sederhana
saja! Di Indonesia ini, perempuan yang memiliki prestasi
kecerdasan tinggi itu berjubel; ribuan jumlahnya. Mereka-mereka
sudah mengharumkan nama bangsa di berbagai forum ilmiah
internasional. Mereka melakukan riset-riset ilmiah dan sukses
membuat temuan-temuan hebat di bidang ilmu pengetahuan.
Prestasi intelektualnya jauh di atas perempuan yang terpilih
jadi miss Indonesia itu!”
“Peserta Miss World ini juga harus punya proyek sosial, Pak
Kiai, bukan kecantikan saja yang dinilai?” Sangidi masih
berusaha meyakinkan gurunya.
“Itu juga bukan hal yang inti, Sangidi! Kalau mau cari
perempuan Indonesia yang sangat mulia, yang berjasa besar
kepada keluarga dan masyarakatnya, terlalu banyak di negeri
ini. Bukan sekedar buat proyek insidental. Bukan sekedar show
amal, tapi kehidupan mereka sehari-hari sudah bergelut dengan
kerja-kerja mulia untuk kemanusiaan.”
Sangidi terdiam. Ia sebenarnya memahami logika Kiainya. Tapi ia
belum bisa menerima logika itu sampai harus membatalkan Miss
World di Indonesia. Sebab, faktanya, Miss World memang
mendatangkan manfaat. Indonesia jadi lebih dikenal dunia.
Peserta Miss World pun ikut mempromosikan budaya Indonesia.
Jadi, kecantikan punya nilai tambah tersendiri. Cukup lama
Sangidi merenung di depan Sang Kiai. Hatinya bergolak. Ia sudah
terlanjur menulis dalam blog-nya, bahwa kontes Miss World di
Indonesia kali ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.
“Begini Pak Kiai…. Indonesia ini kan bukan negara Islam.
Mengapa Pak Kiai selalu bawa-bawa Islam untuk menilai kontes
Miss World? Ini kan masalah bangsa?”
“Siapa yang mengatakan Indonesia bukan negara Islam? Kalau
bukan negara Islam, lalu Indonesia negara apa? Apa negara
kafir? Kamu mikir, Sangidi! Jangan hanya ikut-ikutan buat
pernyataan seperti orang-orang yang kurang memahami sejarah
bangsa kita!”
“Lho apa memangnya, Indonesia ini negara Islam, Pak Kiai?”
“Dengar baik-baik ya, Sangidi! Indonesia ini negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sudah ditegaskan oleh para
perumusnya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah
Subhanahu Wata’ala, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ketiga. Juga latar belakang rumusan Ketuhanan Yang
Maha Esa itu adalah sebagai ganti dari tujuh kata yang dihapus
dalam Piagam Jakarta. Ringkasnya, Indonesia ini Negara berdasar
atas Tauhid, sebagaimana konsep Islam. Itu ditegaskan dalam
Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo!”
“Tapi Pak Kiai, itu kan menurut Pak Kiai yang Islam. Bagaimana
dengan warga Indonesia yang beragama lain?”
“Kamu itu orang Islam atau bukan!? Bukankah seharusnya kamu
berpikiran semacam itu, sebagai orang Islam. Kalau soal orang
non-Muslim, itu urusan mereka. Kita hormati cara berpikir
mereka.”
“Ya benar. Hanya saja, Pak Kiai… kita ini kan warga Negara
Indonesia yang plural, tidak bisa memaksakan nilai-nilai Islam
kita kepada yang lain?”
“Yang memaksakan itu siapa? Kita tidak memaksa siapa-siapa.”
“Itu buktinya, Kiai memaksakan kontes Miss World dibatalkan!”
“Penyelenggara yang memaksakan kontes munkar itu diadakan di
Indonesia. Mereka tidak sensitif dengan aspirasi umat Islam
Indonesia. Di Masa Pak Harto, mengirimkan wakil ke Miss-miss-an
seperti itu saja dilarang. Apalagi jadi tuan rumahnya! Ini
sangat keterlaluan, mentang-mentang punya uang dan media!
Acara ini juga sangat mudah memicu prasangka dan konflik
bernuansa ras dan agama. Ini yang tidak kita kehendaki. Karena
itu, jauh-jauh sebelum acara ini berlangsung, saya sudah
mengingatkan penyelenggara, baik lewat tulisan atau pun lobi.
Jangan teruskan acara ini! Jangan merusak dan memecah belah
bangsa kita dengan cara-cara yang akan memunculkan kontroversi.
Karena itu, kami para pimpinan pesantren, tidak tinggal diam!
Itu makanya saya turun langsung berdemonstrasi memprotes acara
Miss World ini!!!!!” suara Kiai Marwan agak meninggi.
“Apa Pak Kiai mau memaksakan untuk dibatalkan, padahal
pemerintah pun sudah melokalisasi acara ini di Bali!”
“Orang seperti saya ini tidak punya kuasa. Bagaimana mau
memaksakan? Yang memaksakan itu yang punya uang, yang punya
televisi, yang punya keberanian menantang Tuhan! Yang
bertanggung jawab dunia akhirat itu ya Pak SBY dan para pejabat
di bawahnya. Saya hanya menyampaikan aspirasi sekuat tenaga
dan pikiran. Terserah pemerintah dan panitia penyelenggara mau
dengar atau tidak!”
“Maaf, Pak Kiai, apa tidak sebaiknya Pak Kiai menerima
kenyataan, bahwa masyarakat kita sekarang sangat sulit menerima
pemahaman seperti Pak Kiai ini. Pak Kiai akan dianggap makhluk
aneh, karena pada umumnya manusia senang melihat tontonan yang
melibatkan orang-orang cantik. Bahkan, sekarang, artis-artis
jauh lebih popular daripada ulama. Apa Pak Kiai tidak bisa
berkompromi sedikit?”
“Kebenaran itu, Sangidi, tidak bisa dikompromikan. Kita harus
menyatakan yang haq itu haq, yang benar itu benar. Katakan
saja, meskipun itu pahit; begitu pesan Nabi kita, Nabi Muhammad
saw. Dan saya yakin, kebenaran itu pasti ada pendukungnya.
Mungkin tidak banyak. Tapi, yang sedikit itu, jika serius, akan
mampu memimpin yang banyak. Anak babi itu banyak; anak singa
sedikit. Tapi, anak singa makan babi… he he he….” Kiai Marwan
tertawa lirih sambil senyum-senyum memandangi Sangidi yang
mulai salah tingkah.
“Kamu kenapa sih Sangidi…. Kok kelihatan gelisah. Kamu kan
tidak ada hubungan apa-apa dengan panitia Miss World?”
“Maaf… maaf… Pak Kiai, benar-benar saya minta maaf ya Pak
Kiai…. Saya ke sini sebenarnya ada maksud membawa amanah dari
seseorang yang meminta saya melunakkan pendapat Pak Kiai soal
Miss World ini…”
“Ya, saya sudah menduga… tidak biasa-biasanya kamu datang ke
sini, sejak lulus pesantren dua tahun lalu…saya menduga pasti
kamu membawa misi sesuatu! Terus, … kamu sendiri bagaimana
sikapmu terhadap kontes Miss World ini.”
“Saya coba pikir-pikir Pak Kiai. Saya baru mendengar hujjah
yang agak jelas tentang masalah ini.”
“Begini Sangidi, kuncinya ada di hatimu; kuncinya pada
kejujuranmu. Apa kamu jujur? Apa kamu jujur kalau kamu Muslim?
Apa kamu jujur dengan ikrarmu, dengan syahadatmu; bahwa Allah
itu Tuhanmu, bukan cukong penyandang danamu; bukan hawa
nafsumu! Apa kamu masih jujur dengan ikrarmu. Apa kamu masih
mengakui Nabi Muhammad saw itu suri tauladan dan idolamu; apa
idolamu sudah berubah menjadi Che Guevara atau Hartawijaya?
“Ya Pak Kiai, saya jujur insyaAllah! Tapi, kan ini masalah
bangsa Pak Kiai? Bukan sekedar masalah agama saja! Ada yang
bilang, secara hukum positif di Indonesia, tidak ada yang
dilanggar dalam kontes Miss World. Bagaimana itu Pak Kiai?”
“Saya tidak habis pikir, jika yang ngomong seperti itu orang
Islam. Di Indonesia ini, menurut hukum positif, berzina saja –
asal suka sama suka dan sama-sama dewasa – tidak melanggar
hukum positif. Apa lalu orang boleh berzina, karena tidak
melanggar hukum positif? Cari pasal dalam KUHP, apa ada
larangan masuk masjid dengan mengenakan bikini!!! Sudahlah
Sangidi… kamu harusnya sering-sering silaturrahim ke sini. Kamu
sudah terlalu banyak bergaul dengan orang-orag liberal, sampai
pikiranmu mulai rusak; tidak bisa lagi membedakan mana yang
salah dan mana yang benar. Hati-hati, kamu sepertinya sudah
mulai terbuai dengan pujian dan sedikit popularitas yang kamu
nikmati sekarang!”
Sangidi terdiam. Ia tak sanggup lagi menatap wajah gurunya.
Kata-kata Kiai Marwan seperti menyayat-nyayat perasaannya.
“Doakan saya Pak Kiai, semoga saya masih bisa istiqamah!”
“Saya selalu mendoakan. Tapi, kamu sendiri harus punya niat
untuk tidak sesat!”
“Baik, Pak Kiai… saya mohon ijin untuk pamit,” Sangidi
mengakhiri ucapannya.
“Ya, jaga diri. Ingat orang tuamu, berharap kamu jadi anak
shalih!”
Sejurus kemudian, sebuah sedan hitam metalik, membawa Sangidi
meninggalkan pesantren.*/Depok, 16 September 2013
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan
Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP)
hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com.
Nama-nama yang disebut dalam tulisan ini hanya fiktif belaka
No comments:
Post a Comment