for better life Headline Animator

Friday 6 September 2013

Buya Hamka tentang Bahaya Kontes Kecantikan Miss World

Oleh : Beggy – Pegiat JIB (Jejak Islam untuk Bangsa)

 “Yang Pindah agama itu telah banyak, tetapi lebih banyak lagi

yang lepas lolos dari ikatan Islam, tersapu habis pandangan dan

cinta Islam dari dalam hatinya.”-Buya Hamka.

Penyelenggaraan Miss World tahun 2013, yang sebentar lagi akan

berlangsung nampaknya akan terus melaju. Meskipun

penyelenggaraan itu menuai kecaman dari umat Islam di

Indonesia. Pendapat kontra sudah kita sering dengar gaungnya,

mulai dari umbar aurat, pelecehan terhadap martabat perempuan

hingga bau kapitalisasi perempuan. Bahkan sejarah mencatat di

Amerika Serikat sana pun, penyelenggaraan Miss America telah

dikecam puluhan tahun silam oleh pegiat feminis.[1]

Miss World yang akan singgah dalam tanah air kita ini

sebetulnya bukan barang baru. Kecaman ulama terhadap

kontes-kontes semacam ini juga bukan sesuatu aneh dikolong

langit nusantara. Ulama besar Buya Hamka pernah mengecam kontes

semacam ini. Ia bertutur,

“Orang-orang perempuan maju kemuka berlomba merebut kehidupan,

sehingga alat-alat penghias diri, alat-alat kecantikan lebih

melebihi mahalnya. Kemudian muncullah lomba

kecantikan,memperagakan diri, lomba ratu-ratuan. Perempuan muda

yang cantik tampil ke muka mendedahkan (memamerkan) dada,

pinggul, dan pahanya,di tonton bersama dan diputuskan oleh juri

siapa yang lebih cantik tampil ke muka mendedahkan. Maka

ratu-ratu kecantikan itu jangan sampai menurun. Dan ini pun

menghendaki perbelanjaan banyak dan mewah. Macam-macam nama

yang diberi bagi ratu-ratu itu; Ratu Personality, Ratu luwes,

Ratu daerah, Ratu Propinsi, Ratu Nasional, dan Ratu

internasional.”[2]

Tepat sekali ucapan Buya Hamka. Miss World hanyalah satu dari

sekian banyak ajang eksploitasi perempuan. Kontes semacam ini

hanya berganti-ganti kulitnya. Beribu nama bisa tercetus, namun

esensinya tetap sama. Bahkan pencitraan perempuan dengan

mitos-mitos tertentu tentang kecantikan, sudah membanjiri

pikiran terdalam kita. Melalui, iklan, sinetron, dan lainnya.

Lebih mengenaskannya lagi, mulai dari penyelenggara, peserta

hingga penikmatnya adalah orang Islam itu sendiri.

Salah satu akar dari kerusakan ini adalah lenyapnya pengetahuan

di masyarakat akan kedudukan perempuan dalam Islam. Orang Islam

tak lagi memahami kedudukan perempuan dalam agama mereka,

sehingga mereka mengamini tatkala ajang seperti Miss World

disebut promosi kebudayaan, ekspresi wanita atau lebih

mengenaskan lagi penghargaan pada perempuan.

Sebagian orang Islam saat ini sampai meraba-raba dalam

kegelapan pengetahuan, bagaimana cara menghargai perempuan.

Sehingga jebakan Kontes ratu-ratuan hingga mitos kecantikan

dijadikan pegangan. Sementara kedudukan perempuan yang telah

digariskan Islam digugat dan diseret ke muka umum. Diskriminasi

dijadikan senapan untuk membidik ajaran Islam.  Orang Islam

yang hendak mencari penghargaan diluar Islam, sejatinya tak

paham bahwa mereka makin terperosok jauh ke dalam lembah

kerancuan.

Hendaklah kita resapi nasehat dari Buya Hamka tatkala berbicara

penghargaan perempuan dalam Islam. Menurutnya,

 “Mereka (perempuan) dipandang sebagai bagian yang sama

pentingnya dengan laki-laki dalam memikul tanggung jawab

beragama, mengokohkan aqidah dan ibadat, sehingga timbullah

harga diri yang setinggi-tingginya pada mereka, timbul ilham

perjuangan.”[3]

Ketidakpahaman juga seringkali dialamatkan kepada pembagian

tugas laki-laki (suami) dan perempuan (istri).  Ajaran Islam

mengenai pembagian tugas kepada istri sebagai pemelihara rumah

tangga dianggap rantai yang membelenggu. Dihakimi ramai-ramai

dalam tuduhan diskriminasi. Insyaflah kita ketika dalam hal ini

ketika mengingat keterangan Buya Hamka,

“Hanya perempuan yang kurang sehat jiwanyalah yang akan ingkar

pada pembagian tugas seperti ini. Atau perempuan yang gagal di

dalam rumah tangga lalu dia ‘kasak-kusuk’ menontonkan diri

keluar minta persamaan hak dengan laki-laki, namun dia tak

kenal lagi di mana batas hak itu.”[4]

Perihal pembagian peranan dalam rumah tangga, Buya Hamka

mengingatkan, “Pengorbanan! Itulah yang selalu diminta dari

kedua belah pihak. Yang laki-laki sampai putih rambut di

kepala, mencarikan keperluan rumah tangga. Yang perempuan

habis; tenaga, memelihara rumah tangga, menyelenggarakan suami,

mendidik anak-anak. Keduanya sama-sama berkurban!”[5]

Seandainya saja kita semua sebagai umat Islam memahami

kedudukan perempuan dalam Islam, niscaya kita tidak akan

tertipu dalam kemasan kosong kontes ratu-ratuan atau pencitraan

rapuh tentang perempuan. Namun tantangan tak berhenti di situ.

Kontes ratu-ratuan ala Miss World juga menggunakan promosi

kebudayaan sebagai topeng. Kita yang menentang Miss World

mungkin akan  dianggap tak berbudaya atau anti budaya. Batin

ini tentu bertanya-tanya, kebudayaan macam apa yang hendak

diusung Miss World?

Umat Islam di Indonesia sudah seringkali disudutkan dan

dibenturkan dengan persoalan budaya. Umat semakin terjerembab

ketika tak mampu untuk menafsirkan, kebudayaan apa yang sesuai

dengan Islam di Indonesia ini? Padahal hanya dengan memahami

hakekat budaya itu sendiri umat Islam akan mampu menepis

beragam gelombang tantangan budaya ini.

Salah satu usaha menafsirkan kebudayaan ini juga datang puluhan

tahun yang silam oleh Buya Hamka. Menurut Buya Hamka penting

bagi generasi muda Islam untuk memperdalam pengetahuan ajaran

Islam dan mempelajari sejarah umatnya di Indonesia dan

diluarnya,

“...sehingga dia insyaf bahwa kebudayaan Islam itu universil

sifatnya. Dan kebudayaan yang universil itulah tujuan terakhir

dunia di zaman ini. Dan Nasionalisme sempit, tidaklah panjang

usianya.”[6]

Budayawan Islam diingatkan Buya Hamka untuk kembali mengambil

bagian dalam perkembangan kebudayaan, serta melakukan

risalah-nya (tugasnya) yang suci itu untuk mengisi kebudayaan

dunia. Karena terlihat di Indonesia -mengutip istilah Buya

Hamka- ‘gejala pancaroba kebudayaan.’ Seperti budaya

materialistis, kebudayaan menuhankan manusia. Kebudayaan yang

tak lagi melihat manfaat dan mudharat, yang tak kenal lagi

halal dan haram. Umat Islam hendaknya jeli untuk menafsirkan

dan mewarnai kebudayaan, karena ada berbagai upaya untuk

memasukkan agama menjadi bagian dari budaya. Padahal budaya

adalah hasi kegiatan manusia. Sedangkan agama adalah wahyu.

Budaya atau kebudayaan dapat dipahami sebagai usaha dan hasil

usaha-usaha manusia menyelesaikan kehendaknya buat hidup dengan

alam yang ada di kelilingnya. [7] Menurut Buya Hamka semua

manusia yang berakal-budi adalah berbudaya, sebab budaya adalah

hasil akal budi yang dipengaruhi ruang dan waktu, serta

masyarakat yang mengelilinginya. Maka bagi Islam, kebudayaan

haruslah diterangi oleh iman.

“Maka adalah iman sebagai pemberi cahaya bagi akal budi dan

daya-upaya dalam hidup, hendaklah menjadi amalnya yang saleh!”,

terang Buya Hamka.[8]

Ketika dalam masyarakat telah dipahami bahwa kebudayaan terdiri

dari tiga hal, pengetahuan, filsafat dan seni, maka hal-hal itu

perlu diterangi cahaya Iman. Buya Hamka kembali mengingatkan,

“Islam mengajarkan bahwasanya di dalam mencari ilmu

pengetahuan,atau filsafat atau seni, satu hal perlu diingat.

Yaitu betapa nilainya bagi jiwa. “ Kemudian beliau melanjutkan,

“...Disamping mencari yang benar dan mengelakkan yang salah,

atau mencari yang baik dan menjauhi yang jahat, haruslah

diperhatikan yang manfaat dan yang mudharat itu.”[9]

Dan sejarah telah mencatat, baik di dunia dan di Indonesia,

cahaya Islam telah menerangi berbagai aspek kebudayaan.

Islam-lah yang memberi kita budaya yang lebih beradab. Islamlah

yang memberikan pakaian keindahan. Memakaikan pakaian dan

menutupkan aurat bagi orang-orang yang sebelumnya telanjang.

Islam pula yang mewarnai bahasa lisan dan tulisan di nusantara

dengan huruf arab-jawi atau huruf Pegon. Sebelum semuanya

dilindas secara tragis oleh huruf latin yang dibawa oleh

penjajah. Terlebih dalam bahasa, Bahasa Indonesia demikian

jernih terlihat diwarnai oleh bahasa melayu yang diterangi

kosa-kata berjiwa islam, seperti adil, wilayah, hikmah, dan

lainnya. Karya sastra klasik juga diwarnai jiwa Islam, baik

oleh Raja Ali Haji atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Betapa

banyak hikayat dan syair berjiwa jihad yang membakar semangat

perang melawan penjajah. Sebut Hikayat Perang Sabi dari tanah

Aceh sebagai salah satu contohnya.[10]

Bahkan menurut Buya Hamka, “Hindu telah meninggalkan pusaka

berupa candi-candi yang sekarang dijadikan barang antik

bernilai sejarah, untuk opbyek turis, untuk mencari riwayat

lama pada batu-batu. Tetapi Islam telah meninggalkan Mesjid

yang hidup setiap hari dan ramai setiap Jumat.”[11]

Tak heran jika kita sebagai muslim patut berbangga dengan Islam

yang telah mewarnai kebudayaan Indonesia. Dan tak patut kita

merasa rendah diri dengan Islam jika berbicara kebudayaan,

sedang Buya Hamka berani dengan lantang berkata,

“Dengan tegas dan berani mempertanggung-jawabkan, dapatlah saya

katakan bahwa modal yang diberikan Islam yang paling terbanyak,

yang diberikan untuk membangun kebudayaan Indonesia.[12]

Kebudayaan ibarat air sungai yang mengalir, ia memberi dan

menerima. Sudah menjadi tanggung jawab kita mengaliri air itu

dengan kejernihan Tauhid Islam. Dan salah satu cara memandang

kebudayaan adalah dengan meresapi nasehat dari Buya Hamka

perihal kebudayaan ini,

“Hendaklah angkatan Muda Islam memperdalam pengetahuan dan

pengertian ajaran Islam, dituruti dengan amal, sehingga menjadi

pandangan hidup yang sebenarnya, dan dapat membanding ‘mana

yang punya kita dan mana yang kepunyaan orang lain’.”[13]

Racun pembunuh bangsa bernama Miss World ini hanyalah satu dari

sekian banyak kerusakan yang hendak disuntikkan perlahan kepada

generasi kita dan penerus kita. Ketika penyelenggara Miss World

sesumbar berkata mendompleng kuda troya Kebudayaan, maka kita

dapat bertanya lantang, kebudayaan mana yang hendak mereka

maksud? Medan perjuangan begitu lapang terbentang, termasuk

dalam bidang budaya. Dan seperti hendak Buya Hamka pesankan,

“Modal menghadapi perjuangan kebudayaan masih amat terbatas dan

kerdil, sebab itu maka, ‘dengan kail panjang sejengkal,

tidaklah ada daya upaya menduga lautan’.”[14]



    J. Dow, Bonnie. Feminism, Miss America, and Media

Mythology. Rethoric & Public Affairs. Vol 6, No.1. 2003.
    HAMKA. Racun Pemusnah Bangsa dalam Dari Hati ke Hati.

Pustaka Panjimas. 2005. Jakarta.
    HAMKA, Perempuan Juga Dimuliakan dalam Kedudukan Perempuan

dalam Islam. Pustaka Panjimas. 1986. Jakarta.
    HAMKA, Pembagian Tugas dalam Kedudukan Perempuan dalam

Islam. Pustaka Panjimas. 1986. Jakarta.
    Ibid.
    HAMKA. Kebudayaan Dipandang Dari Segi Ajaran Islam dalam

Pandangan Hidup Muslim. Bulan Bintang. 1992. Jakarta.
    Ibid.
    Ibid.
    Ibid.
    Alfian, Ibrahim. Sastra Perang, Sebuah Pembicaraan Mengenai

Hikayat Perang Sabil. Balai Pustaka. 1992. Jakarta.
     HAMKA. Kebudayaan Dipandang Dari Segi Ajaran Islam dalam

Pandangan Hidup Muslim. Bulan Bintang. 1992. Jakarta.
    Ibid
    Ibid
    Ibid

sumber: voa-islam.com

No comments:

Post a Comment