for better life Headline Animator

Tuesday 20 August 2013

Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi (Bagian 2)

Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.

Kalau kita bandingkan antara teks proklamasi yang sudah dipersiapkan bahkan seharusnya dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno, maka setidaknya ada dua masalah mendasar.

Pertama, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Sedangkan dalam teks teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat ”…berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Sedangkan dalam teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua catatan di atas merupakan masalah mendasar, terutama bagi ummat Islam. Dihapusnya kalimat yang mencantumkan nama Allah subhaanahu wa ta’aala menyiratkan bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil jerih payah tangan manusia semata. Seolah bangsa Indonesia tidak pernah membutuhkan Allah ta’aala dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Padahal sejarah jelas mencatat bahwa semenjak para penjajah kafir Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang menginjakkan kaki di bumi Nusantara yang menjadi tulang punggung utama perlawanan terhadap mereka ialah para santri dan para kyai alias ummat Islam. Merekalah para mujahidin fi sabilillah yang dengan gagah berani memerdekakan negeri ini dari kehadiran para penjajah kafir tersebut. Dan selama mereka berjuang ratusan tahun seruan mereka tidak lain hanyalah ALLAH AKBAR…!

Para pendahulu kita menyadari bahwa satu-satunya tempat memohon pertolongan dalam mengusir para penjajah hanyalah Allah subhaanahu wa ta’aala. Ini berlaku sejak perjuangan Fatahillah, Imam Bonjol, Diponegoro hingga Bung Tomo di Surabaya. Dan ini pula yang telah menginspirasi para founding fathers dalam BPUPKI ketika merumuskan teks Proklamasi dan mukaddimah Undang-undang Dasar 1945. Sehingga dengan penuh ke-tawadhu-an mereka mencantumkan kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Sebab mereka menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat diraih tanpa bantuan dan pertolongan Allah ta’aala.

Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta’aala).

Sejarah Islam juga mengajarkan hal ini. Ketika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam memasuki kota Makkah dalam peristiwa fenomenal Fathu Makkah tercatat wajah beliau hampir menyentuh leher untanya karena tawadhu merendahkan diri di hadapan pemberi kemenangan sebenarnya, yakni Allah ta’aala. Berbeda dengan para pemimpin dunia yang biasanya saat merayakan kemenangan mereka membusungkan dada dan mengangkat kepala tinggi seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah penyebab kemenangan yang diraihnya. Mereka tidak ingat kepada Allah ta’aala samasekali…!

”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah ta’aala dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS AnNashr ayat 1-3)

Bahkan para founding fathers dalam BPUPKI memandang tidak cukup hanya mencantumkan asma Allah di dalam teks Proklamasi. Mereka malah kemudian mencantumkan jalan hidup seperti apa yang semestinya ditempuh ummat Islam di negeri ini agar tercermin rasa syukur semestinya kepada Allah ta’aala Yang memberikan kemerdekaan sebenarnya. Oleh karena itu tercantumlah di dalamnya kalimat ”…berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.”

Para pendahulu di negeri ini sadar bahwa sekedar menyatakan Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai tuhan tidaklah cukup. Namun lebih jauh lagi harus ditegaskan bahwa jalan hidup komponen terbesar bangsa harus diikat dengan syari’at Islam yang digariskan tuhan Allah subhaanahu wa ta’aala. Hanya dengan mengikatkan diri kepada tali agama Allah ta’aala sajalah ummat Islam di negeri ini bakal terpelihara kesatuannya.


”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS Ali Imran ayat 103)

KH Firdaus AN menulis di dalam catatannya sebagai berikut:
Tanpa disadari, mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara ke arah yang dimurkai Allah, yaitu deIslamisasi (baca: menjauhkan diri dari Islam). Jelaslah, kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur, dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan.

Masih perlukah kita merasa heran mengapa bangsa ini tidak kunjung selesai dirundung malang bila sejak hari-hari awal kemerdekaannya saja para pemimpinnya telah terlibat dalam pengkhianatan yang begitu fundamental…? Wallahu a’lam bish-showwaab.


sumber:eramuslim.com

Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi (1)

Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.

Dalam penjelasan ensiklopedia bebas wikipedia, naskah proklamasi ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:

    Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

    Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta

Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi diatas:

    Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
    Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
    Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, ‘Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ‘ tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
    Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
    Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.

Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini:

    PROKLAMASI

    Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Jakarta, 22 Juni 1945

    Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin.

KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat” susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diatas.

Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku “amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata “syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi “darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala…!

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR. Ahmad 45/134)


sumber:eramuslim.com

Saturday 3 August 2013

Keluarga yang Berkumpul di Surga

Oleh: Tiffatul Sembiring (Menkominfo)

"Dan orang-orang yang beriman serta anak cucu mereka yang mengikutinya dalam keimanan, kami akan kumpulkan (di Surga) bersama anak-cucu mereka" QS At-Thuur : 21.

Pada suatu kesempatan, Nabi saw menasihati putri kesayangan beliau yang bernama Fathimah. "Wahai Fathimah binti Muhammad, beramallah untuk bekal (akhirat)-mu. Karena aku (Nabi saw) tidak akan bisa menolong engkau sedikitpun di akhirat nanti," tegas Rasulullah saw.

"Subhaanallah," begitulah nasihat Nabi saw untuk Fathimah. Dan memang orangtua tidak dapat memberikan garansi kepada anak-anaknya, kecuali sang anak mau berupaya menggapai surga itu.

Perhatikanlah apa yang terjadi pada Nabi Nuh as. Beliau berpisah dengan sang anak, lantaran si anak tidak mau mengikutinya beriman. Bahkan ketika air banjir bandang datang, ketika sang anak timbul tenggelam dipermainkan gelombang air bah, sebagai ayah, Nuh as tidak tega melihatnya. Dan diapun berdoa:

"Ya Rabbi, itu anakku adalah keluargaku. Sungguh janji Engkau benar, dan hanya Engkau Hakim yang Maha Adil," pinta Nuh as.

Allah swt menjawab: "Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah tergolong keluargamu, karena dia tidak beramal sholeh. Maka janganlah engkau meminta kepadaKu sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya,".

Ternyata, sekalipun itu adalah anak kandung nabi Nuh as, namun jika dia tidak beriman, maka Allah swt mengatakan bahwa anak itu bukanlah termasuk anggota keluarganya.

Di samping usaha keras untuk mendidik dan mengarahkan tanggung jawab kita, anak-anak tercinta bersama isteri, agar kelak dapat berkumpul di surga Allah, maka janganlah lupa berdoa untuk meraih kebahagiaan tersebut.

Karena sesungguhnya kebahagiaan hakiki itu adalah, tatkala kita bisa berkumpul dengan keluarga dalam keadaan beriman dan bertakwa saat di dunia, kemudian berhasil pula berkumpul kembali di surga Allah swt kelak. Semoga saja kita bisa meraihnya.

Namun ingatlah akan Hadits Nabis saw: "Nanti di hari Kiamat, seseorang suami diseret ke tengah-tengah Padang Mahsyar. Bergelayutan isteri dan anak-anaknya di lengan kanan dan lengan kirinya,".

Ketika dihisab, ternyata sang suami bisa masuk surga, lantaran amalnya cukup. Sementara sang isteri dan anak-anaknya dinyatakan masuk neraka, lantaran kurang amal saat di dunia.

Lalu sang isteri berkata: "Ya Allah, demi keadilan Engkau. Saya dinikahi dan dipergauli, tapi saya tidak diajari Islam yang saya tidak mengerti. Ambil hak kami dari laki-laki ini," ujar isterinya sambil menunjuk-nunjuk suaminya.

Lalu anak-anaknyapun protes: "Ya Allah, demi keadilan Engkau. Saya dinafkahi dan diberi harta, tapi saya tidak diajari Islam yang saya tidak mengerti. Ambil hak kami dari ayah kami ini," ujar anak-anaknya.

Akhirnya, semua keluarga itu dimasukkan ke dalam neraka. "Nau’dzubillahi min dzalik".

Republika.co.id

Kita Adalah Raja !

Kisah yang akan saya ceritakan ini saya peroleh dari sebuah khutbah shalat Jum’at di suatu masjid di Jakarta. Dahulu ada satu negeri muslim yang sangat aman, rakyatnya makmur dan sentosa. Hal ini karena negeri itu diperintah oleh seorang Raja yang adil, bijak dan tidak korup. Raja ini selalu memperhatikan dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya. Dia senantiasa bertanya kepada Para Mentrinya mengenai keadaan rakyatnya dan selalu diterima laporan bahwa rakyatnya makmur, sehat dan aman.

Suatu malam Sang Raja ingin keliling negeri melihat langsung kondisi
rakyatnya. Dengan ditemani beberapa orang Mentri dan Pembantunya, Sang Raja secara diam-diam pergi keliling negeri. Di suatu rumah Sang Raja mendengar rintihan seorang pemuda yang kelaparan. Si Ibu dengan suara lemah mengatakan kepada anaknya bahwa dia sudah tidak memiliki lagi persediaan makanan.

Sang Raja mendengar itu langsung bertanya kepada Mentrinya bagaimana hal ini bisa terjadi? Setelah tanya jawab dengan Para Mentri dan Pembantunya, mereka sepakat untuk secara diam-diam membawa sang anak ke istana malam itu juga dan mengangkatnya menjadi Raja selama sehari besok saja. Mereka menunggu hingga si anak tertidur, setelah itu secara diam-diam beberapa Pembantu Istana membawa si anak yang masih tertidur, tanpa diketahui oleh si Ibu maupun anak.

Di istana si anak di tidurkan dalam kamar tidur yang besar dan mewah. Pagi harinya ketika terbangun dari tidurnya si anak heran, dimanakah dia berada? Segera beberapa pembantu istana menjelaskan bahwa dia saat ini di istana kerajaan dan diangkat menjadi Raja. Para Pembantu istana sibuk melayaninya.

Sementara itu di tempat terpisah si ibu kebingungan dan cemas karena dia mendapati anaknya hilang dari rumahnya. Di carinya kemana-mana tapi sang anak pujaan hati tetap tak ditemukannya. Siang harinya sambil menangis dan bercucuran air mata si ibu pergi ke istana Raja untuk meminta bantuan mencari anaknya ke pelosok negeri.

Di gerbang istana si ibu tertahan oleh Para Penjaga istana dan tidak diijinkan untuk bertemu dengan Raja. Namun demikian, seorang Penjaga itu masuk ke dalam dan memberi tahu kepada Sang Raja (Pemuda yang baru diangkat jadi raja) bahwa di luar istana ada seorang ibu tua lusuh dan kelaparan yang sedang mencari anaknya yang hilang. Sang Raja kemudian memerintahkan untuk mensedekahkan satu karung beras kepada ibu tua miskin tersebut. Malam harinya Sang Raja tidur kembali di kamarnya yang megah dan mewah.

Tengah malam sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, Sang Raja yang asli dengan Para Pembantunya secara diam-diam kembali memindahkan pemuda yang sedang tidur lelap itu kembali ke rumah ibunya. Esok pagi si ibu sangat gembira karena telah menemukan kembali anaknya yang hilang kemarin. Sebaliknya si Pemuda heran kenapa dia ada disini kembali. Si ibu bercerita bahwa kemarin dia mencarinya kesana-kemari hingga pergi ke istana untuk minta bantuan, dan pulangnya dia diberi oleh Raja sekarung beras.

Si Anak segera menyadari bahwa dia kemarin yang memberi sekarung beras itu. Kemudian bergegas dia pergi ke istana dan menghadap Raja, minta diangkat kembali menjadi raja. Sang Raja segera menolak dengan mengatakan bahwa waktu/kesempatannya menjadi raja sudah habis. Si Pemuda tetap memohon, bahkan kalau perlu diangkat menjadi raja setengah hari saja. Jika dia menjadi raja, dia ingin mengirim beras ke ibunya lebih banyak lagi, tidak hanya sekarung seperti kemarin. Sang Raja tetap menolak permohonan pemudam itu. Sambil menghiba-hiba Pemuda itu minta hanya sejam saja bahkan beberapa menit saja, tetapi Sang Raja tetap menolak dengan alasan waktumu menjadi raja sudah habis.

Dengan perasaan sangat menyesal dan menangis si Pemuda pulang kembali ke rumah gubuknya dan melihat hanya ada sekarung beras di rumahnya, yang sebentar lagi juga habis dimakan mereka berdua. Dia sangat menyesal mengapa waktu dia menjadi raja dia tidak mengirim beras banyak-banyak ke ibunya itu. Kini kesempatan itu telah hilang dan tak akan kembali.

Itulah kisah yang menganalogikan bagaimana nanti orang-orang kafir dan orang-orang berdosa lainnya menyesal di yaumil akhir. Mereka menghiba-hiba kepada Allah swt “…dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?” (Al A’raaf:53).

Tetapi Allah tetap menolak dengan alasan waktumu telah habis. Para pendosa itu sangat menyesali hidupnya di dunia dulu. Kenapa dia sangat kikir dulu, seandainya dia dermawan maka tidak hanya sekarung beras yang dia kirim tetapi mungkin berton-ton beras yang dia kirim. Karena kiriman beras itu bukan untuk orang lain tetapi untuk dirinya sendiri. Allah swt mengatakan:

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka diantara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri”(Muhammad:38).

Beras itulah pahala, oleh karena itu gunakanlah waktu kita saat hidup di dunia ini untuk mengirim pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal hidup kita di yaumil akhir kelak. Mumpung kita masih hidup di dunia yang diibaratkan kisah diatas kita saat ini masih menjadi Raja yang tinggal di istana. Anda saat ini adalah seorang Raja!! Gunakan kesempatan ini untuk mengirim pahala sebanyak-banyaknya. Jangan sia-siakan waktu anda untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya.

Allah swt telah memperingatkan kita untuk menggunakan waktu ini
sebaik-baiknya dalam Surat Al Ashr: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.

Rasulullah saw pernah ditanya siapakah orang yang paling pintar itu? Beliau menjawab bahwa orang yang paling pintar adalah orang yang banyak mengingat kematian dan dia mempersiapkan kematiannya itu sebaik-baiknya. Orang kafir adalah “orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka” (Al-A’raaf : 51).

Arwansyah Johan Al Taqiyyan
sumber: eramuslim.com

Bersujudlah

Ada orang yang beranggapan ibadah adalah urusan orang-orang tua, bahkan ada yang shalat cepat sekali sehingga mengabaikan bacaan-bacaan shalat yang seharusnya dibaca dengan baik termasuk ketika bersujud.

Seakan-akan tidak membaca do’a sedikitpun ketika bersujud. Padahal saat itulah kita merasa kecil di hadapan Allah SWT. Saat bersujud, kita meletakkan anggota tubuh di tempat yang paling rendah.

Kita tanggalkan semua atribut keduniaan, kita copot gelar kebangsawanan, kita letakkan semua gelar kehormatan. Semuanya kecil ketika bersujud di hadapan Allah SWT. Saat itulah kita banyak membaca do’a.
        
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Kalian harus memperbanyak sujud kepada Allah SWT. Ketika kalian bersujud, Allah akan angkat derajat kalian, dan Allah akan menghapus satu dosa kalian.”

Ada dua hal penting yang patut kita garisbawahi dari hadis di atas. Perintah sujud yang disampaikan Rasulullah SAW memberikan dua manfaat yang sangat berguna bagi kehidupan kita.

Pertama, dengan banyak bersujud, Allah SWt akan angkat derajat kita. Derajat yang akan Allah berikan kepada kita bisa berupa derajat di dunia maupun di akhirat.

Di dunia bisa berupa kehidupan sakinah, berupa jabatan, bisa berupa mendapatkan jodoh yang ideal, bisa juga keinginan-keinginan lain yang dikabulkan. Semuanya itu merupakan dampak positif dari banyak bersujud kepada Allah SWT.

Sedangkat derajat di akhirat hanyalah Allah SWT yang Maha Mengetahui. Tidak seorangpun manusia yang mengetahui akan hal itu, karena itu menjadi rahasia Allah SWT.

Kedua, dengan bersujud Allah SWT akan menghapus satu dosa. Sebagai manusia tentu saja banyak perbuatan dosa yang kita lakukan, disengaja ataupun tidak. Perbuatan dosa tersebut tidak kita ketahui jumlahnya, kecuali nanti di yaumil hisab (Hari perhitungan).

Anjuran Rasulullah SAW banyak bersujud agar dosa kita satu persatu dihapus. Semakin banyak kita bersujud, semakin banyak dosa kita yang dihapus. Semakin banyak kita melaksanakan shalat tentu semakin banyak sujud yang kita lakukan.

Bila dalam satu raka’at shalat kita bersujud sebanyak dua kali, dalam 17 raka’at sehari semalam kita sudah bersujud sebanyak 34 kali. Bagaimana dengan shalat sunat lainnya yang kita lakukan?

Ambil contoh, shalat taraweh yang kita laksanakan di bulan Ramadhan. Ada yang melaksanakan 11 raka’at, ada juga yang melaksanakan 23 raka’at. Bisa kita hitung 23 raka’at berarti 46 kali sujud.

Bila dijumlahkan shalat wajib dan shalat taraweh berarti kita sehari-semalam, kita bersujud kepada Allah 34 + 46 = 80 kali sujud. Itu berarti kalau Allah SWT menjanjikan satu kali sujud menghapus satu dosa, sehari semalam di bulan Ramadhan terhapus 80 dosa kita.

Padahal dosa yang kita perbuat dalam sehari banyak sekali lebih dari 80 perbuatan dosa. Rasanya dengan bersujud sebanyak 80 kali sehari masih belum dapat menghapus dosa-dosa kita.

Karena itu, bersujudlah kepada Allah SWT sebanyak-banyaknya. Tidak perlu dihitung-hitung. Setiap kali ada waktu luang bersujudlah, karena memang Allah menciptakan kita manusia tidak lain untuk beribadah kepadaNya. Wallahua'lam.

Oleh : Ustaz Ahmad Dzaki
sumber: REPUBLIKA.CO.ID

Friday 2 August 2013

Engkau Benar, Sepertiga Malam Terakhir adalah Waktu Yang Ajib !

Seorang menteri di Baghdad telah berlaku lalim terhadap kekayaan seorang wanita tua. Hartanya dirampas dan semua hak wanita itu dirampok. Tapi si wanita itu dengan berani mengadukan kelaliman itu kepada menteri dimaksud sambil menangis dan memprotes kekejamannya. Sang menteri sama sekali bergeming dan tak menyadari kekejamannya terhadap si wanita.

Wanita itu kemudian mengancam, “Jika engkau tidak menyadarinya juga, aku akan memohon kepada Allah agar engkau celaka.” Menteri itu malah tertawa terkekeh-kekeh dan mengejek wanita itu seraya berkata dengan angkuh, “Berdoalah di sepertiga akhir malam.” Wanita itupun pergi meninggalkannya.

Setiap hari, pada sepertiga malam terakhir, ia selalu berdoa. Tak berapa lama kemudian, menteri itu dimakzulkan, dan seluruh hartanya disita. Ia diikat di tengah pasar dan dicambuk sebagai hukuman ta’zir atas kejahatannya kepada rakyat. Pada saat itu si wanita tua lewat, dan melihat siapa yang diikat. Katanya, “Engkau benar. Engkau telah menganjurkan kepadaku untuk berdoa di sepertiga malam terakhir, dan terbukti sepertiga terakhir malam itu memang waktu paling baik.”

***

Sepertiga malam itu sangat mahal dalam kehidupan kita, sangat berharga. Sebab itulah Rabb Yang maha Mulia berfirman. “Adakah seseorang yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan apa yang dia minta, adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku sehingga aku ampuni dia, dan adakah orang yang berdoa kepada-Ku lalu Aku kabulkan doanya.”

Sedari remaja, dan dari sekian banyak cerita yang pernah saya dengar, ada sebuah peristiwa yang sangat membekas dalam hidupku yang tidak mungkin saya lupakan. Yang saya rasakan saat itu adalah bahwa tak ada yang lebih dekat daripada Dzat Yang Maha Dekat, yang memiliki jalan keluar, pertolongan, dan kebaikan.

Ceritanya begini, waktu itu saya bersama sejumlah penumpang lainnya terbang dari Abha menuju Riyadh, bertepatan dengan pecahnya Krisis Teluk. Di dalam pesawat yang sedang terbang itu, dikabarkan kepada seluruh penumpang bahwa pesawat akan kembali ke bandara Abha karena ada kerusakan. Kamipun kembali ke Abha, dan kru memperbaiki pesawat.

Setelah kerusakan diperbaiki, kami terbang lagi. Namun ketika kami sudah mendekati Riyadh, roda pesawat tak mau turun. Selama satu jam, pesawat hanya berputar-putar di atas kota Riyadh. Pilot telah berusaha melakukan pendaratan sebanyak sepuluh kali namun setiap kali sudah dekat ke landasan dan berusaha mendarat selalu gagal, dan pesawatpun terbang lagi. Saat itu kami panik, dan banyak diantara kami yang sudah pasrah.

Para penumpang wanita menangis. Saya lihat air mata mengalir deras di pipi. Kini kami berada di antara langit dan bumi menunggu kematian yang bisa lebih cepat dari kerdipan mata. Teringat olehku segalanya, namun tak ada yang lebih baik dari amal shaleh. Hati saya segera tertuju kepada Allah dan alam akhirat. Dan, dunia menjadi sangat tidak berharga. Saat itu, yang selalu keluar dari bibir kami adalah, Laa Ilaaha ilallallaah wahduhu laa syariikalah lahul mulk wa lahul hamd wa huwa’alaa kulli syai’in qadiir (Tidak ada Ilah selain Allah, satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya semuau kerajaan dan pujian, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Kalimat ini meluncur dengan jujur dari bibir kami. Seorang Syaikh yang sudah berumur berdiri dan berseru kepada seluruh penumpang untuk meminta perlindungan kepada Allah, berdo’a kepada-Nya, memohon ampunan-Nya, dan bertobat atas segala kesalahannya.

Allah sendiri telah menjelaskan tentang sifat manusia, Maka tatkala mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (QS Al-’Ankabut: 65)

Kamipun berdoa kepada Dzat Yang Mengabulkan doa orang yang dalam keadaan terjepit, seperti yang dilakukan oleh orang yang terjepit. Kami betul-betul khusyu’ dalam doa kami. Tak berapa lama, pada usaha yang kesebelas dan keduabelas kami bisa mendarat dengan selamat. Ketika turun dari pesawat kami seperti baru saja keluar dari kuburan. Jiwa kami kembali seperti sedia kala, air mata sudah mengering, dan senyuman kembali mengembang. Sungguh agung kebaikan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu.

Berapa banyak kita memohon kepada Allah saat bahaya menimpa, tatkala bencana itu hilang kita melupakan-Nya.

Di lautan kita berdoa kepada-Nya agar kapal kita selamat, namun ketika sudah kembali ke darat kita durhaka kepada-Nya.

Kita menaiki angkasa dengan aman dan santai, tidak jatuh karena Yang menjaga adalah Allah.

Semua ini adalah kebaikan dan bantuan Yang Maha Pencipta.

***

Sumber: Laa Tahzan, karya Dr. Aidh Al-Qarni,

Kekuatan Pedang dan Penyebaran Islam

Sejak hari-hari ketika kaisar Romawi Kristen untuk melemparkan singa-singa, hubungan antara kaisar dan kepala-kepala gereja telah mengalami banyak perubahan. Konstantinus Agung yang menjadi kaisar pada tahun 306 – tepatnya 1700 tahun lalu – mendorong praktik kekristenan di kekaisaran, termasuk Palestina. Pada abad-abad berikutnya, gereja terpecah menjadi Timur (Ortodoks) dan Barat (Katolik). Di Barat, Uskup Roma, yang mendapat gelar Paus, menuntut kaisar menerima superioritas.

Pertikaian antara kaisar dan para paus memainkan peranan sentral dalam sejarah Eropa dan memecah belah rakyat. Pertikaian tersebut mengalami pasang surut. Beberapa kaisar diberhentikan atau digulingkan oleh paus, sementara beberapa paus diberhentikan atau dikucilkan kaisar. Salah seorang kaisar, Henry IV, “berjalan ke Canossa”, berdiri selama tiga hari tanpa alas kaki di salju di depan istana Paus, sampai Paus berkenan untuk membatalkan ekskomunikasi-nya.

Tapi ada saat-saat kaisar dan paus hidup dalam damai satu sama lain. Kita menyaksikan periode beberapa dekade terakhir seperti hari ini. Antara Paus sekarang di Vatican , dan kaisar sekarang, rezim AS , terdapat sebuah harmoni indah. Seperti terungkap dalam pidato Paus yang membangkitkan badai seluruh dunia, berjalan seiring dengan perang salib Romawi Modern (AS dan sekutunya)  terhadap “Islamofascism”, dalam konteks “benturan peradaban”.

Dalam ceramahnya di sebuah universitas Jerman, Paus Ke-265 menjelaskan apa yang ia lihat sebagai sebuah perbedaan besar antara Kristen dan Islam: sementara Kristen didasarkan pada akal, Islam menolak itu. Sementara Kristen melihat logika tindakan Tuhan, umat Islam menyangkal bahwa ada suatu logika dalam tindakan-tindakan Allah.

Dalam rangka untuk membuktikan ketiadaan logika dalam Islam, Paus menyatakan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk menyebarkan agama mereka dengan pedang. Menurut Paus, yang tidak masuk akal, karena iman lahir dari jiwa, bukan dari tubuh. Bagaimana pedang dapat mempengaruhi jiwa?

Untuk mendukung hal ini, Paus mengutip dari seorang kaisar Byzantium. Pada akhir abad ke-14, Kaisar Manuel II Palaeologus bercerita tentang sebuah perdebatannya dengan seorang sarjana Muslim Persia tidak disebutkan namanya. Dalam argumen yang panas, sang kaisar (menurut dirinya sendiri) melemparkan kata-kata berikut kepada lawan:

“Tunjukkan pada saya hanya apa yang dibawa Muhammad yang masih baru, dan di sana Anda akan menemukan perbuatan jahat dan tidak manusiawi, seperti perintahnya untuk menyebarkan keyakinan dengan pedang.

Pernyataan ini menimbulkan tiga pertanyaan: (a) Mengapa kaisar tersebut mengatakan demikian? (b) Apakah pernyataannya ini benar? (c) Mengapa Paus ke 265 mengutipnya?

Ketika Manuel II menulis bukunya, ia adalah kepala kekaisaran yang hampir runtuh. Dia menganggap kekuasaan di 1391 hanya tinggal beberapa provinsi. Itu pun sudah di bawah ancaman Turki. Pada waktu yang sama, Turki Utsmani telah mencapai tepi sungai Donau. Mereka telah menaklukkan Bulgaria dan bagian utara Yunani, dan telah dua kali mengalahkan pasukan yang dikirim oleh Eropa untuk menyelamatkan Kekaisaran Romawi Timur.

Tanggal 29 Mei 1453, hanya beberapa tahun setelah kematian Manuel, ibukotanya, Konstantinopel (sekarang Istanbul), jatuh ke Turki, dan berakhirlah kerajaan yang telah berlangsung selama lebih dari seribu tahun.

Selama masa pemerintahannya, Manuel berkeliling Eropa dalam usaha untuk menghidupkan dukungan. Dia berjanji untuk mempersatukan kembali gereja. Ada kecurigaan bahwa ia menulis risalah agama untuk mendorong negara-negara Kristen melawan Turki dan meyakinkan mereka untuk memulai perang salib baru. Tujuannya adalah praktis, teologi melayani politik.

Dalam pengertian ini, kutipan tersebut persis seperti pernyataan George Bush II. Dia juga ingin menyatukan dunia Kristen untuk melawan Islam yang disebutnya “Poros Setan”. Selain itu, Turki lagi-lagi mengetuk pintu Eropa, kali ini secara damai. Sudah umum diketahui bahwa Paus mendukung kekuatan-kekuatan sahabat dengan masuknya Turki ke dalam Uni Eropa.

Apakah ada kebenaran dalam argumen Manuel?

Paus sendiri menyampaikannya dalam bentuk peringatan. Sebagai seorang teolog yang serius dan ternama, ia tidak mampu memalsukan teks-teks tertulis. Oleh karena itu, dia mengakui bahwa Al-Quran secara khusus melarang penyebaran iman dengan kekerasan. Dia mengutip surat Al-Baqarah ayat 257 yang mengatakan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”

Bagaimana seseorang dapat mengabaikan pernyataan tegas seperti itu? Paus hanya berpendapat bahwa perintah itu telah diletakkan oleh Nabi pada awal kenabian, masih lemah dan tak berdaya. Tapi kemudian ia memerintahkan penggunaan pedang dalam menyampaikan akidah.

Perintah semacam itu tidak ada dalam Alquran. Benar, Muhammad menyerukan penggunaan pedang dalam perang melawan suku-suku yang berlawanan – Kristen, Yahudi dan lain-lain – di Arabia, ketika ia membangun negara. Tapi itu adalah tindakan politik, bukan agama; dasarnya adalah pertarungan memperebutkan wilayah, bukan untuk penyebaran Islam.

Yesus berkata: “Kamu akan mengenali mereka dari buah-buahan.” Perlakuan Islam terhadap agama-agama lain harus dinilai dengan sebuah pertanyaan sederhana: bagaimana penguasa Muslim berperilaku selama lebih dari seribu tahun, ketika mereka memiliki kekuasaan untuk “menyebarkan iman dengan pedang”?

Selama berabad-abad umat Islam menguasai Yunani. Apakah orang-orang Yunani menjadi Muslim? Apakah ada yang mencoba untuk mengislamkan mereka? Sebaliknya, orang Yunani Kristen memegang posisi tertinggi di pemerintahan Ottoman. Bulgaria, Serbia, Rumania, Hongaria dan negara Eropa lainnya hidup di bawah kekuasaan Ottoman dengan berpegang teguh doktrin agama Kristen mereka. Tidak ada yang memaksa mereka untuk menjadi Muslim dan mereka semua tetap taat Kristen.

Benar, orang-orang Albania memeluk Islam, dan begitu pula orang-orang Bosnia. Tapi tak seorang pun berpendapat bahwa mereka melakukan ini di bawah tekanan.

Tahun 1099, Tentara Salib menaklukkan Yerusalem dan membantai penduduk Muslim dan Yahudi tanpa pandang bulu, dalam nama Yesus yang lembut. Pada waktu itu, 400 tahun Palestina di bawah kekuasaan Muslim, Kristen masih mayoritas di negeri ini. Selama periode panjang ini, tidak ada upaya untuk memaksakan Islam pada mereka. Hanya setelah pengusiran Pasukan Salib dari negeri, apakah mayoritas penduduk mulai mengadopsi bahasa Arab dan keyakinan Muslim – dan mereka adalah nenek moyang sebagian besar orang Palestina hari ini.

Tidak ada bukti apapun dari setiap upaya untuk memaksakan Islam pada orang Yahudi. Seperti diketahui, di bawah kekuasaan Islam orang-orang Yahudi Spanyol menikmati kebebasan, sesuatu yang tidak dinikmati orang-orang Yahudi di tempat lain hingga hari ini. Penyair seperti Yehuda Halevy menulis dalam bahasa Arab, seperti juga Maimonides besar. Di masa Spanyol Islam, banyak orang Yahudi yang menjadi menteri, penyair, dan ilmuwan. Di masa Islam berkuasa di Toledo, orang-orang Kristen, Yahudi dan Muslim bekerja-sama menerjemahkan filsafat Yunani kuno dan teks-teks ilmiah. Itu adalah masa keemasan. Bagaimana ini mungkin terjadi seandainya Nabi menyerukan Islam dengan pedang?

Apa yang terjadi setelah itu bahkan lebih kuat indikasinya. Ketika Katolik merebut kembali Spanyol dari kaum Muslim, mereka menerapkan politik teror keagamaan. Orang-orang Yahudi dan Muslim diberi pilihan yang sulit: menjadi Kristen, atau dihukum mati, atau hengkang dari Spanyol. Dan kemana ratusan ribu Yahudi yang menolak untuk meninggalkan agama mereka itu melarikan diri? Hampir seluruhnya diterima dengan tangan terbuka di negara-negara Muslim. The Sephardi Jews (orang-orang Yahudi Spanyol) menetap di seluruh dunia Muslim, dari Maroko di Barat hingga Irak di Timur, dari Bulgaria (saat itu bagian dari Kekaisaran Ottoman) di utara sampai Sudan di selatan.

Mereka tidak mengenal sama sekali siksaan seperti Inkuisisi, api auto-da-fe, the pogrom, pengusiran massal yang mengerikan seperti terjadi di hampir seluruh wilayah Kristen, hingga Holocaust. Mengapa? Karena Islam secara tegas melarang setiap penganiayaan terhadap Ahli Kitab. Dalam masyarakat Islam ada tempat khusus yang disediakan untuk orang-orang Yahudi dan Kristen. Mereka tidak menikmati hak-hak yang sepenuhnya sama, tapi hampir. Mereka harus membayar pajak khusus, tetapi dibebaskan dari dinas militer.

 sumber:eramuslim.com