for better life Headline Animator

Friday, 6 September 2013

Memajukan Wisata Tanpa “Menjual” Perempuan!

oleh: Zuhroh Astie WieAstie

SEBUAH laporan pernah dibacakan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Sektor Wisata ASEAN 2012 di Bangkok menganalisa kekuatan sektor pariwisata negara-negara ASEAN, sekaligus rekomendasi mengenai cara mengembangkan sektor tersebut agar lebih menguntungkan bagi negara-negara di kawasan.

Laporan itu juga sekaligus memberikan peringkat yang didasarkan pada penilaian yang mencakup beberapa faktor yaitu kebijakan dan peraturan negara bersangkutan, pelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan, kesehatan dan kebersihan, prioritas pariwisata, infrastruktur transportasi udara, infrastruktur transportasi darat, infrastruktur pariwisata, infrastruktur Informasi dan Teknologi (ICT), daya saing harga, sumber daya manusia, afinitas untuk sektor pariwisata, sumber daya alam dan sumber daya budaya.

Berdasarkan laporan itu, Singapura menempati urutan pertama negara ASEAN dengan sektor pariwisata yang paling menarik bagi investor, disusul Malaysia dan Thailand di tempat kedua dan ketiga.

Sedang negara ASEAN lain seperti Brunei Darussalam, Indonesia, dan Vietnam dikategorikan sebagai negara “yang memiliki potensi di bidang wisata”, namun masih memiliki berbagai kelemahan. Sementara itu, Filipina dan Kamboja dikategorikan sebagai negara ASEAN yang memiliki banyak kelemahan di sektor ini. (“Ukuran ASEAN, Pariwisata Indonesia Tak Dianggap. Memalukan!!!”, Suarapembaruan.com,  Rabu, 30 Mei 2012)

Cermati bai-baik, Indonesia yang begitu kayanya ini, dianggap baru memiliki potensi!

Beberapa kelemahan sektor wisata negara-negara ASEAN yang disorot dalam laporan tahun itu adalah infrastruktur kurang memadai dan perhatian terhadap lingkungan yang masih kurang.

Laporan ini menekankan peran penting sektor pariwisata dalam mempercepat pembentukan komunitas ASEAN. Laporan mengulas tentang upaya dan inisiatif negara-negara anggota ASEAN untuk bersama-sama mengembangkan sektor ini.

Promosi tanpa Miss-miss-an

Yang menjadi pertanyaan, apa hebatnya Malaysia dengan Indonesia? Sehingga faktanya banyak orang suka sekolah, berobat dan anjang-sana  ke sana ketimbang di dalam negeri?

Syafiq Basri Assegaff, seorang konsultan komunikasi dan Ketua Bidang Pengembangan Cabang Perhumas menulis artikel berjudul “Komunikasi Malaysia” (dimuat Inilah.com, 31 Januari 2013) masalah ini. Menurut Syafiq Basri,  data yang ada menunjukkan industri pariwisata Malaysia selama 2011-2013 tumbuh sekitar delapan prosen, sehingga meningkatkan perolehan devisa negara itu pada 2013 mencapai lebih dari US$ 22,4 milyar.

Selain dari negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia dan Singapura, turis berdatangan dari China, India dan Timur Tengah, termasuk dari Iran yang hingga kini masih diboikot Barat. Dari Iran itu saja, Malaysia menerima tidak kurang dari 180 ribu turis selama tahun 2011 lalu, sementara pada tahun yang sama (2011) jumlah turis dari Iran ke Indonesia hanya 18 ribu orang.

Rupanya semua tidak lepas dari gencarnya promosi pemerintah Malaysia sendiri, selain meningkatnya reputasi (brand) negeri itu sebagai hub pusat belanja (shoping) yang menarik di dunia. Dan promosi itu adalah soal komunikasi, bagian penting pemasaran.

Bahkan menurut catatan Syafiq Basri, peristiwa hari besar pun dikomunikasikan secara serius oleh pemerintah Malaysia kepada khalayak ramai di dunia. Negeri itu rupanya sengaja merancang banyak libur nasional yang bisa menjadi daya tarik bagi turis asing juga. Pada bulan Januari-Februari ini saja, setidaknya ada tiga libur besar yang menjadikan atraksi tersendiri bagi turis manca negara di Malaysia: pertama Hari Raya Maulidur Rasul saw, disusul dengan liburan panjang Thaipusam (agama Hindu), dan Tahun Baru China.

Halal Travel – Indonesia vs Malaysia: branding menentukan

Pada tahun 2009 Malaysia berhasil menjaring 23,6 juta turis mancanegara, meningkat 7 % dibanding tahun sebelumnya. Sebagai pembanding, jumlah turis asing ke Indonesia tahun 2009, 2010 dan 2011 menurut data Badan Pusat Statistik adalah 6.323.730, 7.002.944 dan 7.649.731.

Bukan hanya pelancong biasa, Malaysia rupanya juga menggenjot wisata kesehatan alias ‘medical tourism’. Menurut laporan, “Malaysia Medical Tourism Outlook 2012”, perolehan dari industri medical tourism itu tumbuh sebesar 21 % selama jangka waktu 2011-2014. Lagi-lagi ini semarak berkat promosi gencar yang dikerjasamakan secara apik antara sektor kesehatan pemerintah dan swasta Malaysia bersama institusi terkait lainnya.

Di antara yang ‘dibanggakan’ dalam promosi itu adalah bahwa pasien asing bisa memperoleh layanan terapi sekelas negara maju tetapi ‘dengan harga jauh lebih murah’.

Semua yang di atas kunci utamanya adalah cara Malaysia ’berkomunikasi’ kepada dunia di berbagai media dan tempat. Termasuk, salah satunya komunikasi di (dan tentang) bandara ibukota negara Kuala Lumpur International Airport (KLIA).

Lalu, di salah satu sudut airport KLIA itu tertulis promosi lain, ‘Selamat datang di salah satu negara paling aman di Asia.” Promosi atau pengumuman yang kelihatan sepele itu sesungguhnya amat penting: mau tidak mau ia sekaligus bisa memberi pesan dan kesan bahwa para turis yang baru datang itu lebih baik tinggal di Malaysia saja, ketimbang pergi ke negara tetangga yang ‘tidak seaman’ Malaysia. Dan bukankah komunikasi itu adalah menyampaikan ‘pesan’ dan ‘kesan’? (“Komunikasi Malaysia”, Syafiq Basri Assegaff, Inilah.com, Kamis, 31 Januari 2013)

Hebatnya, cara Malaysia mengkomunikasikan negaranya kepada dunia tanpa acara miss-miss-an seperti Miss World atau harus mendatangkan produk asing seperti Metallica. Malaysia bahkan lebih memiliki keberanian melarang budaya-budaya asing. Bulan ini, negeri tetangga Indonesia ini melarang grup Band Metal Lamb of God dilarang pentas di Malaysia.

Tahun 2012 negara ini juga pernah melarang melarang konser Erykah Badu, juga melarang konser penyanyi dunia Elton John. Bahkan untuk Elton John, alasannya lebih jelas dan lebih berani dari Indonesia, karena alasan agama.  Gerakan masyarakat di sana menilai penyanyi pop Inggris itu secara terbuka menyatakan dirinya sebagai gay (homo). Sementara Indonesia justru mendatangkan penulis lesbian Irshad Manji.

Tak cukup begitu. Di tengah Kuala Lumpur, kawasan Bukit Bintang disulap sedemikian rupa sehingga menjadi semacam ’surga’ yang bersih bagi para turis, khususnya yang datang dari Timur Tengah. Lalu, ketika taksi Anda – yang sopirnya tidak berani membawa penumpang lebih dari empat (karena law enforcement yang ketat) – mengisi bensin, di pompa bensin Anda akan melihat komunikasi lain berupa sebuah pengumuman yang menjelaskan: sekian Ringgit harga asli bensin atau solar, sekian Ringgit yang disubsidi Negara, dan berapa Ringgit sisanya yang dibayar konsumen.

Branding dan Kreatifitas

Branding sebuah negara besar berperannya dalam memengaruhi banyak orang. Ia dapat mengubah dan memperkuat persepsi khalayak. Karena branding di dalam benak adalah mengenai penciptaan koneksi-koneksi dan asosiasi dengan orang dan berbagai benda bergerak ataupun benda mati. 

Sungguh heran jika panitia penyelenggara Miss World yang kukuh atas keberatan masyarakat berdalih acaranya ini untuk menaikkan pariwisata. Benarkah dengan Miss World lantas Indonesia kebanjiran kunjungan?

Butktinya, Malaysia tanpa acara mengeksploitas wanita, Indonesia tetap kalah dengan Negara kecil ini.

Banyak kota-kota Indah di Indonesia tidak hanya di Bali. Hanya karena pemerintah yang tidak pintar mengelola seperti Malaysia menjadi tidak dikenal dunia. Seolah-olah Indonesia hanya Bali.

Karenanya, alasa memajukan pariwisata  hanyalah sebuah alasan untuk memberi celah agar Miss World disetujui untuk diselenggarakan di Indonesia. 

Lagi pula, tak ada jaminan dengan kontes Miss World wisata Indonesia bisa lebih maju. Memangnya tak ada jalan lain lebih kreatif untuk menarik para wisatawan agar mau berkunjung ke Indonesia selain Miss World?

Singapura memiliki daya tarik menjadi objek wisata karena beragam produk belanja yang mampu menarik hati wisatwan. Jepang menjadi objek wisata karena kemajuan teknologinya. Dan semua karena manajemen yang baik dan pelayanan yang memuaskan.

 Itulah cara meningkatkan wisatwan dengan cara modern, bukan dengan eksploitasi tubuh wanita. Kepuasan pelanggan akan memberikan kesan untuk meningkatkan wisatawan di Indonesia. Ketika wisatawan asing kembali ke Negara asalnya maka ia akan menjadi jalan promosi melaluli pengalamannya.

Dengan menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan, terpenuhinya fasilitas dan sarana prasarana adalah cara professional untuk memajukan wisata di Indonesia. Sedangkan keindahan pariwisata di Indonesia tak kalah jika bersaing ke kancah internasional.*

Penulis pemerhati sosial-keagamaan, tinggal di Semarang

sumber : hidayatullah.com

Miss World Tumbuhkan Kemarahan, SBY Diminta Menghentikan


Sebagai pihak yang mengusung perhelatan Miss World di Indonesia, panitia dan pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kegiatan itu, sadar telah menyebabkan kemarahan di berbagai kota dan daerah.

"Kemarahan ini sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam sangat memiliki hak untuk membendung budaya-budaya asing yang dikhawatirkan bisa merusak moral dan akidah generasi muda," demikian kata Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI PKS Jawa Tengah V nomor urut 4, Mustofa B. Nahrawardaya kepada hidayatullah.com, Kamis (05/09/2013.)

Penyelenggara, imbuh analis pakar soal terorisme ini, semestinya mengerti bahwa dengan berbagai pertimbangan, penyelenggaraan ini tidak akan berdampak positif apabila dipaksakan.

"Perlu saya sampaikan bahwa, bentuk-bentuk ekspresi seni dalam negeri sendiri sebenarnya banyak yang susah untuk diatur sehingga sebagian dari mereka, kini tidak lagi menghormati budaya santun dan budaya religius adat ketimuran yang kita miliki," tukas dia.

Namun anehnya, sambung dia, pihak swasta kini malah mencoba menambah babak baru dengan membobardir persoalan budaya dalam negeri melalui budaya asing yang dinilai oleh tokoh-tokoh ormas Islam khususnya, tidak akan menambah baik kondisi bangsa dari sisi moral budaya.

"Untuk itu, saya menyarankan agar pihak penyelenggara, dalam hal ini RCTI, supaya dengan legowo menghentikan Miss World. Baik yang diselenggarakan di Bali maupun di Sentul Jawa Barat," lanjut dia.

Ia menerangkan, apabila pihak penyelenggara tidak pula mendengar saran-saran para tokoh masyarakat agar menghentikan prosesi Miss World ini, maka dia menyarankan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Presiden SBY untuk menghentikannya.

"(Ini, red) demi menghormati Pancasila dan UUD 1945, serta menghormati ajaran agama Islam yang mayoritas dipeluk penduduk yang dipimpinnya," tandasnya.*

sumber:hidayatullah.com

Wednesday, 4 September 2013

Ada Misi di Balik Miss World?

Oleh Imanda Amalia

September 2013 ini, Indonesia menjadi tuan rumah kontes

kecantikan internasional yang bertitel Miss World. Meski sudah

banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat di Tanah Air,

Pemerintah tampaknya tetap mengijinkan kontes ‘pamer aurat’

tingkat dunia tersebut. Jika benar-benar terselenggara, tentu

saja ini amat ironis.

Pasalnya, berarti untuk pertama kalinya Miss World

diselenggarakan di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia

ini. Padahal Miss World yang dirintis oleh Eric Morley di

Inggris pada tahun 1952, awalnya adalah kontes perempuan

berbikini. Seiring perkembangan, Miss World kemudian mengalami

sedikit modifikasi meski ‘ruh’-nya tetap sama: pamer aurat.

Pamer aurat jelas diharamkan dalam Islam sebagai agama yang

dipeluk oleh mayoritas rakyat negeri ini.

Namun demikian, Miss World dan berbagai kontes kecantikan

sejenis sebetulnya tidak semata-mata sekadar pamer aurat. Lebih

dari itu, ia sudah menjadi ‘ikon’ budaya Barat yang serba

bebas. Miss World telah dijadikan alat oleh para kapitalis

dunia setidaknya untuk dua tujuan.

Pertama: memperomosikan budaya Barat yang liberal ke seluruh

dunia, termasuk ke negeri-negeri Muslim seperti Indonesia.

Kedua: ajang para kapitalis lokal maupun internasional untuk

mereguk keuntungan finansial yang berlimpah. Pasalnya, Miss

World benar-benar telah menjadi ajang bisnis yang dikelola

secara profesional dengan sistem waralaba di lebih 130 negara

dengan keuntungan jutaan dَlar bagi pihak penyelenggara. Itu

belum termasuk sejumlah perusahaan yang menjadi sponsor acara

berskala internasional tersebut.

Hal ini terbukti saat salah seorang Miss World asal Indonesia

yakni  Kamidia Radisti yang mengikuti acara penyelanggaraan

Miss World 2007 di China, saat acara Gesture di salah satu TV

Swasta di tanah air ia mengatakan bahwa ia merasa tidak menjadi

objek komoditi acara miss world tersebut. Namun ketika ditanya

oleh host alasan kenapa ia ikut ajang miss world tersebut

adalah untuk dirinya sendiri, keluarga dan sebagainya yang ia

katakan telah ia dapatkan, tentu yang dimaksud di sini adalah

dari segi materi.

Wajib Ditolak
Setiap segala aktivitas kemaksiatan itu adalah pelanggaran

terhadap hukum syara’ dan berdiam diri dari kemaksiatan

merupakan sebuah dosa. Oleh karenanya, secara keimanan, wajib

hukumnya seorang muslim untuk menolak kontes ajang maksiat

pamer aurat tersebut.

Bahkan Allah SWT melalui lisan nabi yang mulia yakni Rasulullah

SAW mengancam akan menimpakan adzab kepada mereka yang melihat

kemungkaran tersebut namun tidak mau menolaknya.

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak akan

mengadzab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan

mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat

kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya,

akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka

melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan

kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam

Ahmad]

Dan kemudian ketika adzab tersebut telah ditimpakan kepada

mereka secara keseluruhan, kemudian mereka yang tidak mau

melakukan amar makruf nahiy mungkar itu berdo’a maka do’a

mereka tidak dikabulkan. Ini sebagaimana penegasan dari

Rasulullah SAW dalam hadits lain yang berbunyi : “Demi Dzat

yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul

melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak

melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada

kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar

supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah

Ta’ala tidak mengabulkan do’a kalian.”  (HR Ahmad dan

at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’)

Adanya ancaman terhadap orang-orang yang melihat

kemaksiatan/kemungkaran namun tidak mau mengubahnya dengan

sebuah siksaan/adzab memberikan pemahaman bahwa aktivitas amar

makruf nahiy mungkar adalah sebuah kewajiban yang harus

ditegakkan. Bukan persoalan percuma atau tidak percuma

melakukan aksi penolakan terhadap kontes tersebut yakni dimana

dipastikan akan tetap berjalan, namun penolakan tersebut adalah

bukti keimanan kita kepada Allah dan rasulNya.

Berdiam Diri Dari Kemaksiatan Adalah Setan Bisu
Disamping itu, jika tetap berdiam diri terhadap kemungkaran

tersebut, maka bisa-bisa kita disebut sebagai sosok setan.

Dalam kitab Ar-Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, “Yang tidak

menyuarakan kebenaran adalah syaitan bisu.” (Lihat hlm 62 bab

as-shumti). Ungkapan ini bukan hadis, tapi dikutip oleh banyak

ulama dalam fatwa dan kitab-kitab mereka.

Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam Majmu ‘fatawa. Ibnu

al-Qayyim juga menukilnya. Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim

juga mengutipnya dari Abi al-Qasim al-Qusyairy yang

meriwayatkan dari Abu ‘Ali Ad-Daqqaq an-Naisaburi as-Syafie.

Atau malah menjadi syaithan yang bisa berbicara yakni ketika

apa yang disampaikan adalah perkara yang bathil. Assakitu ‘anil

haqqi syaitahonun akhros, wal mutakallimu bil bathili

syaithonun nathiqu (Orang yang diam dari menyampaikan kebenaran

adalah syaitan yang bisu, dan orang yang berbicara kebathilan

adahlah syaitan yang bisa bicara) [Abu 'Ali Ad-Daqqaq

an-Naisaburi as-Syafie]

Sebagaimana para pendukung acara miss world mengatakan bahwa

acara ini tidak ada busana bikini dan sudah disesuaikan dengan

adat kebiasaan di Indonesia, serta akan mendongkrak pariwisata

di Indonesia. Disamping itu mereka juga mengatakan bahwa ajang

ini bukan hanya masalah beauty (kecantikan) namun brain

(kecerdasan) dan behavior (sikap), namun menurut jubir HTI,

Kriteria kecerdasan, kebaikan tingkah laku hanya lips service.

“Bagaimana mengukur semua hanya dalam beberapa hari? Dengan

Miss World, Indonesia ingin dijadikan pusat liberalisasi budaya

di dunia Islam,” ungkapnya dalam konferensi Pers tersebut.

Menurut beliau menambahkan bahwa Indonesia menjadi target

liberalisasi mulai dari Irsyad Manji, Lady Gaga, sekarang Miss

World. Artinya, ini liberalisasi Indonesia sebagai negeri

Muslim terbesar di dunia terencana dan sistematis.

Setan, menurut sebagian ulama, berasal dari kata syathana;

maknanya adalah ba’uda, yakni jauh. Maksudnya, setan adalah

sosok yang jauh dari segala kebajikan (Ibn Katsir, I/115,

Az-Zamakhsyari, I/39). Setan juga berarti sosok yang jauh dan

berpaling dari kebenaran. Karena itu, siapa saja yang berpaling

dan menentang (kebenaran), baik dari golongan jin ataupun

manusia, adalah setan (Al-Qurthubi, I/90, al-Alusi, I/166).

Sebagaimana gambaran yang bisa kita lihat pada Surat al-An’am

ayat 112 yang berbunyi : “Kami mengadakan bagi tiap-tiap Nabi

suatu musuh, syaitan-syaitan daripada manusia dan jin, yang

mewahyukan ucapan palsu yang indah-indah kepada satu sama lain,

untuk menipu; dan sekiranya Pemelihara kamu menghendaki, tentu

mereka tidak membuatnya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang

mereka mengada-adakan.” (TQS Al-An’am: 112)

Korelasi Dakwah Fikriyah
Kita tentu memahami bahwa sikap mereka yang mendukung kontes

miss world tersebut berasal dari pola fikir sekuler liberalis.

Dikatakan sekuler karena mereka mengatakan Indonesia adalah

negara demokrasi, bukan negara Islam maka tidak bisa hukum

agama dibawa ke hukum positif yang diadopsi negara ini.

Dikatakan mereka liberal karena mereka memahami bahwa apa yang

mereka lakukan adalah sebuah kebebasan yang diatur oleh

undang-undang selama tidak merugikan orang lain kebebasan

tersebut. Maka mereka merasa bebas untuk menampilkan lekuk

tubuhnya di hadapan semua orang. Mereka menilai bahwa hal

tersebut adalah baik selama tidak merugikan orang lain.

Maka disinilah pentingnya secara massif untuk terjun ke

masyarakat, hadir ditengah-tengah umat untuk berdakwah. Dakwah

merupakan aktivitas untuk memberikan penyadaran di

tengah-tengah umat, sadar akan “penyakit” yang mendera umat

ini, sehingga kemudian mereka juga tahu apa “obatnya”.

kesadaran tersebutlah yang nantinya akan memberikan pemahaman

ditengah-tengah masyarakat akan bagaimana pola fikir yang

benar, meletakan bagaimana harus mensikapi sesuatu berdasarkan

baik buruk dengan standar Islam bukan perasaan saja, serta

memahami peraturan yang baik itu apa.

Tanpa dakwah, bisa jadi umat ini tidak tahu kalau mereka sedang

“sakit”. maka jika tidak ada dakwah maka mereka tidak tahu

kalau sedang “sakit” dan merasa baik-baik saja. ini sangat

berbahaya.

Sama berbahanya sebagaimana salah satu karakter/type manusia

yang di buat oleh Imam al Ghazali bahwa ada manusia yang TIDAK

TAHU kalau ia TIDAK TAHU. ini sangat berbahaya. masih mending

manusia itu TAHU kalau ia TIDAK TAHU.

Berdakwah untuk merubah pola fikir masyarakat. mengubah pola

fikir masyarakat yang tidak berfikir secara Islam menjadi pola

fikir secara Islami. Karena pemikiran hanya bisa diubah  dengan

memberikan pemikiran yang baru karena faktanya pemikiran hanya

bisa diubah dengan pemikiran pula, bukan dengan aktivitas

fisik.

Merubah perasaan masyarakat yakni mengubah perasaan masyarakat

dalam hal baik dan buruk berdasarkan perasaan manusia menjadi

perasaan baik dan buruk berdasarkan baik dan buruk menurut

ketentuan syara’. Merubah peraturan yang ada ditengah-tengah

masyarakat, dimana sekarang aturan yang diterapkan sekarang

ditengah-tengah masyarakat adalah aturan dari akal

manusia,menjadi aturan dari yang membuat akal manusia yakni

Allah swt.

Dakwah tersebutlah nanti lah yang akan mejadikan

individu-individu di masyarakat nanti menjadi pemikiran yang

sama, perasaan yang sama dan peraturan yang sama, maka insya

Allah kehidupan Islam akan tegak. Insya Allah.

Semoga kita tetap berani menyuarakan kebenaran, agar tidak

terkategori syaithan yang bisu ataupun syaithan yang bisa

bicara. Qul al-haqqa walau kāna murra” (katakanlah kebanaran

itu walaupun pahit).

Wallahu a’lam bisshowab

sumber:REPUBLIKA.CO.ID

Islam, Barat, dan Cara Kita Memandang Fashion

Oleh: Aditya Abdurrahman

PUTU Setia, seorang redaktur senior di Majalah TEMPO. Dalam tulisan  berjudul, “Kolom Cari Angin: Miss World” (Edisi 01 September 2013) ia seolah menyindir Menteri Agama Suryadharma Ali, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta mayoritas umat Islam yang paling getol menolak acara Miss World di Bali.

    “Pak Menteri Agama, saya dan mungkin seluruh pendeta di kalangan Hindu sejatinya tak ada urusan dengan perhelatan Miss World itu. Jangankan ikut jadi panitia, diundang pun ogah. Betapapun cantiknya wanita-wanita yang datang dari penjuru dunia, pasti tetap lebih cantik jika cucu saya didandani. Itu urusan duniawi, bukan urusan agama. Kalau kita menekuni spiritual dan setiap hari bergelut dengan ayat-ayat suci, rasanya aneh jika masih mengurusi atau tergiur atau tergoda oleh kecantikan visual. Ini ranah budaya.
    Jika urusan budaya, kenapa agama dibawa-bawa? Miss World digelar di Bali, yang konon penduduknya mayoritas Hindu. Lha, kenapa fatwa MUI harus diperhatikan? Mestinya fatwa Parisada Hindu Dharma Indonesia--dan pasti mustahil ada fatwa seperti itu untuk acara budaya yang tidak melanggar agama. Kalau saran Pak Menteri kebablasan, nanti setiap acara apa pun di Bali--termasuk main layang-layang atau pesta ogoh-ogoh--jangan-jangan disuruh memperhatikan fatwa MUI.

    Budaya itu beragam di Nusantara ini, dan NKRI dengan empat pilarnya--kayak menceramahi murid SD--menjamin keberagaman itu. Miss World dipadukan dengan budaya Bali, pembukaannya dengan tari kecak yang pemainnya bertelanjang dada--padahal peserta Miss World akan pakai kebaya. Mereka mengunjungi obyek wisata dengan pakaian adat Bali, karena ada obyek yang sekaligus menyatu dengan tempat suci. Apakah budaya lokal ini bertentangan dengan budaya nasional? Atau, budaya nasional harus menutup seluruh tubuh seperti budaya di Timur Tengah? Lalu, apakah budaya harus diseragamkan?,” demikian tulisnya.

Saya agak kurang mengerti, apa benar masyarakat Hindu Bali sepikiran dengan si Putu, bahwa ajang pamer-pameran tubuh ini adalah budaya lokal mereka?

Jangan-jangan ketika suatu hari nanti di Bali menjadi tempat ajang (maaf) sebuah kontes pemilihan vagina terindah, “The Most Beautiful Miss V Contest”, sebagaimana pernah diselenggarakan oleh sebuah klub di Portland, Oregon tahun 2011,  si Putu juga mengklaim sebagai budaya lokal lagi, sebagaimana dia menulis di TEMPO.

Estetika dan cara pandang Barat

Kebudayaan Barat masuk melalui seluruh aspek kehidupan manusia diseluruh dunia. Hal-hal yang berkembang di Barat, saat ini, menjadi panutan bagi seluruh umat manusia diseluruh dunia. Menurut pakar sosiologi Islam, Ibnu Khaldun , hal ini merupakan suatu keniscayaan di mana peradaban yang sedang menang, jaya, dan maju, akan selalu menjadi panutan bagi peradaban-peradaban lain yang kalah. Dalam arti lain, peradaban yang saat ini kalah, sedang berada dibawah, atau mengalami stagnasi bahkan kemunduran, pasti menjadi pihak yang mengekor kepada peradaban yang saat ini sedang jaya: peradaban Barat.

Salah satu yang mengalami perubahan adalah dalam aspek fashion. Cara berpakaian Barat yang saat ini ada, dianggap oleh Barat sendiri sebagai bentuk ‘perkembangan’. Gaya berdandan dan berpakaian yang mengikuti era modernisme dan postmodernisme secara cepat menyebar keseluruh penjuru dunia dengan image yang ‘cool’ dan ‘up to date’.

Umat Islam termasuk yang menjadi sasaran sekaligus di sisi lain sebagai penikmat fashion Barat. Mayoritas umat Islam yang tinggal di negara-negara Islam bukan hanya sudah lupa dengan kewajiban-kewajiban dalam menutup aurat sehingga kaidah-kaidah berpakaiannya jauh dari kaidah-kaidah berpakaian ala Islam, tapi lebih parah lagi, mereka menganggap fashion yang terbaik adalah apa yang sedang trend di Barat. Tingkat ketergantungan umat Islam melihat dunia fashion Barat sangat tinggi, hingga busana-busana Muslim dan Muslimah yang seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai syariat harus mengalami ‘akulturasi’ dengan gaya-gaya desain Barat.

Ketika berbicara tentang dunia fashion di Barat, maka pembahasannya akan masuk dalam ranah seni dan desain. Kehadirannya di Barat sangat terkait dengan berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat (konsumen) seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, seni, lingkungan sekitar, dan berbagai faktor lainnya. Sebagaimana yang pernah dikatakan Gini Stephen Frings, seorang ahli fashion Barat:

“Because fashion reflects the way the consumer thinks and lives, it is influenced by the same social, economic, technological, and other enviromental forces, that influence all other aspects of people lives. Executives on all level of fashion industry must be aware of these environmental conditions if they are to make informed decision about styling and merchandising.”(Stephen F, Gini, “Fashion From Concept to Consumer")

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Umberto Eco (1976) yang mengatakan bahwa fashion merupakan alat semiotika, yang didalamnya penuh dengan makna-makna. Seperti mesin yang dapat mengkomunikasikan pesan dari sang pemakai kepada orang lain yang melihat. Lalu apa yang hendak dikomunikasikan? Tentu tidak lepas dari identitas dari pemakainya.

Entah dari sudut pandang kelas sosial, ekonomi, budaya, bahkan tingkat pendidikannya.

Namun ketika fashion berada dalam ranah seni dan desain ala Barat, maka pembahasan fashion di Barat akan menggunakan paradigma Barat dalam melihat apa itu seni dan desain. Tentu hal ini menuntut pandangan tentang bagaimana Barat mendefinisikan estetika dan etika didalam seni dan desain fashion itu sendiri.

Ada dua hal yang harus dimengerti tentang seni menurut Barat, yaitu tentang pemahaman mereka terhadap kedudukan estetika dan etika. Kedua aspek inilah yang nantinya akan memberikan pembeda paling kontras antara desain/seni fashion di Barat dengan fashion Islam.

Istilah estetik biasanya dikaitkan dengan arti 'citarasa yang baik’, ‘keindahan’ dan ‘artistik’. Estetika merupakan kajian yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Dalam tradisi intelektual, biasanya estetika dipahami sebagai satu dari banyak cabang ilmu filsafat yang membahas tentang seni dan objek lainnya yang memiliki nilai estetik (baca: keindahan).

Di Barat, seni merupakan bagian dari kebudayaan modern yang mengedepankan rasionalisme dan materialisme.Kebudayaan yang demikian itu berusaha membuang aspek spiritualitas dan religiositas sejauh-jauhnya.

Artinya, tidak ada batasan apapun, termasuk agama, yang mereka gunakan dalam mengembangkan karya-karya seni dan desain di Barat.

Keindahan di Barat, seperti dalam tradisi modern, berakar pada realisme dan naturalisme. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di Barat, fashion-fashion yang dianggap modern adalah yang mampu memberikan kesan natural dan apa adanya. Bahkan jika diterjemahkan dalam cara pandang mereka terhadap keindahan, maka bentuk tubuh manusia dianggap sebagai estetika seni tersediri, sehingga tidak menjadi masalah di Barat ketika tubuh telanjang dipamerkan di catwalk-catwalk pentas desain fashion.

Dimensi Ruhiyah

Sementara dalam Islam, jika cara pandang umat Islam terhadap fashion sudah tidak lagi menggunakan cara pandang Islam, maka aktifitas berpakaian bukan lagi bernilai ibadah sebagaimana Allah Subhanahu Wata'ala memerintahkan kita untuk menutup aurat, berpakaian rapi, bersih dan suci.

Jika kita melihat fashion tidak pada aspek ruhiyah-nya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ajaran-ajaran Islam, maka sudah pasti kita akan melihat fashion hanya dari dimensi fisiknya saja. Sebagaimana Barat ‘mengajarkan’ fashion sebagai trend dan gaya, kita akan melulu memperhatikan cara berpakaian dari dimensi-dimensi yang materialistis alias duniawi. Motif berpakaian kita hanya sampai pada tataran agar kita dianggap memiliki kelas sosial tertentu, status cantik atau ganteng, berpendidikan atau tidak, norak atau tidak, dan lain sebagainya.

Tidak salah jika seseorang berpakaian dengan maksud ingin terlihat cantik. Tapi jika tujuan itu mengalahkan aturan-aturan tata berpakaian yang disyariatkan olh agama yang masing-masing kita bawah (baik Islam atau budaya lokal yang sering dibanggaan sebagaian orang) maka sesungguhnya cara berpikir Barat-lah yang kita pakai di mana estetika itu dilihat dari dimensi fisiknya. Bukan dimensi ruhiyahnya.

Sekarang, cara pandang dangkal ini sudah menjangkiti kita semua. Bahkan, pada mereka yang juga sok sering mengaku mempertahankan budaya lokal sendiri.

Bagi umat Islam sendiri, cara pandang sangat penting artinya. Yang mana yang kita pakai akan mempengaruhi bagaimana hasil yang akan kita terima di akhirat nanti.

Nah, sekarang, saatnya memilih, cara pandang Barat atau cara pandang kita sendiri? Silakan dipilih. Semua ada ditangan kita masing-masing. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah seorang pengajar di Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya dan salah satu anggota MIUMI Jatim

sumber:hidayatullah.com